Sirekap Diduga Boroskan APBN

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 12 Mar 2024 20:54 WIB

Sirekap Diduga Boroskan APBN

i

Raditya M Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Jakarta - Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi Eelektronik) merupakan aplikasi untuk mempublikasikan hasil suara pemelihan umum yang ditampilkan pada real count pada website pemilu2024.kpu.go.id.

Sejak penghitungan suara sementara hasil Pemilu 2024 pada 15 Februari lalu, kontroversi mengenai pengurangan dan penambahan jumlah suara yang ekstrem menjadi sorotan hingga sekarang.

Baca Juga: Gerakan Buruh, Jaringan dan Aspirasi Politiknya

Sampai kini, aplikasi Sirekap masih menjadi topik hangat yang dibicarakan warga RI.

Topik 'Sirekap' masuk jejeran trending topic di X. Lebih dari 102.000 post terkait mendiskusikan soal aplikasi yang dikembangkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tersebut.

Anehnya, dengan sorotan publik soal kesahihan Sirekap, Ketua KPU enggan beberkan budget yang dikeluarkan KPeU untuk aplikasi Sirekap.

Tapi saya punya data dari dokumen Rincian Kertas Kerja Satker KPU RI T.A 2023. Ini terkait rincian anggaran untuk Sirekap .

Disana, termuat beberapa mata anggaran yang terkait dengan Sirekap. Misalnya, terdapat mata anggaran Bimbingan Teknis Penyelenggaraan Pemungutan, Penghitungan, dan Rekapitulasi Suara, Penetapan Hasil, serta Penggunaan Teknologi Informasi sebesar Rp4,3 miliar.

Selain itu, ada Bimtek Penggunaan Teknologi Informasi dalam Tahapan Pemungutan dan Penghitungan Suara, dan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara sebesar Rp2,7 miliar. Ada juga mata anggaran Penyiapan Substansi dan Bisnis Proses Penggunaan Sistem Teknologi Informasi dalam Pemungutan, Penghitungan, dan Rekapitulasi Suara Rp723 juta.

Kemudian, anggaran untuk konsultan IT Rp200 juta, pembangunan/pengembangan aplikasi dan mobile di dalam dan luar negeri Rp4,8 miliar, penerapan satu data kepemiluan KPU Rp750 juta, dan anggaran data dan informasi Rp8,2 miliar.

Juga ada anggaran layanan operasional pelayanan TI sebesar Rp3,3 miliar.

Ada biaya pemeliharaan infrastruktur TI Rp965 juta, perpanjangan lisensi firewall Rp910 juta, perpanjangan SSL Rp50 juta, serta dukungan teknologi informasi KPU Rp3,1 miliar.

Kini setelah jadi sorotan publik, persoalan biaya pengembangan Sirekap menjadi salah satu pertanyaan publik. Anehnya KPU enggan membuka biaya pengadaan jasa dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk mengembangkan Sirekap untuk Pemilu 2024.

Kementerian Keuangan telah mengalokasikan dana untuk pemilu 2024, anggaran dari APBN hingga Rp71,3 triliun. Bahkan dana itu sudah diberikan sejak jauh-jauh hari, sekitar 20 bulan sebelum Pemilu terselenggara.

Tercatat pada tahun 2022, pemerintah mengalokasikan Rp3,1 triliun. Tahun 2023, alokasi anggaran Pemilu bertambah menjadi Rp30,0 triliun.

Pada tahun 2024 saat berlangsungnya Pemilu, alokasinya naik lagi menjadi Rp38,2 triliun.

Direktur Jenderal Anggaran Isa Rachmatawarta, menegaskan alokasi anggaran Pemilu adalah investasi dari tatanan kehidupan berpolitik dan demokrasi di Indonesia.

Menurut Isa, keberhasilan Pemilu 2024 akan menghasilkan suksesi kepemimpinan nasional dan daerah yang legitimate. Juga stabilitas politik ini menjadi garansi bagi pembangunan nasional di berbagai sektor.

Ada goal yang ingin dicapai pemerintah mendanai KPU sampai Rp71,3 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut anggaran ini dipakai untuk pembentukan badan ad hoc penyelenggaraan pemilu, pemungutan dan penghitungan suara, pengelolaan dan pengadaan laporan.

Kemudian, pengawasan masa kampanye, pemutakhiran data, perencanaan program dan anggaran, serta pengawasan penetapan hasil pemilu.

Serekap termasuk di dalam anggaran sebesar Rp71,3 triliun. Otomatis efektivitas dan fungsi Sirekap tanggung jawab Ketua KPU Hasyim Asy'ari.

 

***

 

Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow mendorong KPU untuk membuka besaran anggaran Sirekap ke publik. Pasalnya, sampai saat ini KPU tak pernah memerinci anggaran yang digunakan untuk sistem informasi tersebut.

“Publik itu wajib menuntut berapa anggaran yang dialokasikan untuk itu dan KPU harus terbuka,” kata Jeirry kepada Kompas.com, Jumat (8/3/2024).

Jeirry bilang, keterbukaan anggaran penting untuk mendudukkan sumber persoalan Sirekap.

Bisa jadi, masalah berulang yang terjadi pada Sirekap disebabkan karena cekaknya anggaran.

“Tapi yang jelas begini loh. Kita meng-cover semua TPS. Kemudian juga meng-cover anggota KPPS yang kita tugasi dua orang, dan seterusnya, termasuk membangun sistemnya. Jadi kalau total biaya ya komponennya termasuk itu semua. Tapi kalau yang developer tentu saja hanya yang biaya pembangunan dan termasuk biaya server-nya dan segala macamnya,” kata Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari, berdalih.

 

***

 

Aplikasi Sirekap sendiri dikembangkan pertama kali pada 2020 oleh Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada 2021, KPU membuat nota kesepahaman dengan ITB soal pengembangan teknologi Sirekap.

Dikutip dari laman ITB, Proyek tersebut dikomandoi oleh Wakil Rektor ITB periode 2020-2025. Gusti Ayu Putri Saptawati.

Beda dengan anggaran untuk membuat sirekap. Tercatat anggaran untuk konsultan IT Rp200 juta. Lalu dana pembangunan/pengembangan aplikasi dan mobile di dalam dan luar negeri Rp4,8 miliar. Ada juga dana untuk penerapan satu data kepemiluan KPU Rp750 juta. Selain anggaran data dan informasi Rp8,2 miliar.

Juga ada aanggaran layanan operasional pelayanan TI sebesar Rp3,3 miliar. Ini diluar dana pemeliharaan infrastruktur TI Rp965 juta, perpanjangan lisensi firewall Rp910 juta, perpanjangan SSL Rp50 juta, serta dukungan teknologi informasi KPU Rp3,1 miliar.

Praktis dana konsultan IT dan dana pembangunan/pengembangan aplikasi dan mobile, di dalam dan luar negeri Rp4,8 miliar. Jadi untuk persiapan dam aplikasi Sirekap tidak kecil. Sedikitnya total ada Rp 30 miliar.

Gusti Ayu merupakan dosen di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB. Ia memiliki keahlian di bidang Rekayasa Perangkat Lunak dan Pengetahuan.

Kabarnya, proyek yang dijalankan tersebut tak diketahui oleh banyak civitas akademika ITB. Ini diungkap oleh seorang dosen ITB. Ia bercerita bahwa tak banyak yang tahu proyek pengembangan aplikasi Sirekap. Dalam proyek itu pula, Gusti Ayu tidak menyertakan ahli kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).

Lembaga analis media sosial Drone Emprit menyebut percakapan tentang Sirekap menjadi topik yang paling tinggi dibicarakan oleh warganet di media sosial X pada Jumat (16/02).

Percakapan yang mencuat terkait kelemahan Sirekap. Salah satunya adalah kekeliruan input data jumlah suara di sebuah TPS di Lampung yang menimbulkan kehebohan dan menurunkan kepercayaan pada Sirekap milik KPU.

"Sentimen percakapan terkait Sirekap di X terpantau sangat negatif, sebanyak 85% dan positif hanya 7%," kata pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi.

Narasi negatif itu, sambungnya, berkembang menjadi dugaan kecurangan.

 

***

 

Padahal Ketua KPU mengaku menggunakan alat bantu Sistem Informasi Rekapitulasi Pemilu (Sirekap) untuk penghitungan suara pada pemilihan umum (pemilu) 2024.

Kini, penggunaan Sirekap ramai disorot banyak pihak. Ditemukan penghitungan suara pada pemilihan umum 2024 gaduh.

Baca Juga: Emil Dardak, Si Genius, Bisa Menteri, Bisa Tetap Wagub

Salah satu masalah yang disorot adalah ketidaksesuaian hasil pembacaan Sirekap dengan perolehan suara di C hasil yang diunggah. Hal itu tak hanya terjadi di satu-dua tempat pemungutan suara (TPS), melainkan di ribuan TPS.

Dalam konferensi pers yang digelar di Media Center KPU pada Kamis (15/2/2024), Ketua KPU Hasyim Asy'ari ditanya mengenai anggaran untuk Sirekap. Hasyim enggan menjawabnya.

Melansir situs resmi KPU, Sirekap adalah perangkat aplikasi berbasis teknologi informasi sebagai sarana publikasi hasil perhitungan suara dan proses rekapitulasi hasil penghitungan suara serta alat bantu dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan suara pemilu.

Ini tertuang dalam Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 66 Tahun 2024 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum. Sirekap dibuat untuk mewujudkan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu sesuai Undang-Undang.

Sirekap Mobile dan Sirekap Web menjadi alat bantu untuk menjaga kemurnian hasil perolehan suara di tempat pemungutan suara (TPS). Caranya dengan merekam data autentik dokumen C Hasil di TPS.

Artinya, KPU membuat Sirekap justru untuk memudahkan proses rekapitulasi di kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Dan, meminimalisasi kesalahan data entri. Sehingga informasi hasil penghitungan suara di TPS bisa segera disajikan ke publik.

Nyatanya Dalam konferesi pers ,KPU bersama Bawaslu sendiri menemukan dugaan perbedaan data hasil perolehan suara yang tercantum dalam formulir C Hasil Plano di TPS dengan hasil di aplikasi Sirekap.

Menurut KPU bersama Bawaslu, jika hasil yang tercantum dalam formulir C Hasil Plano yang diunggah ada yang salah hitung atau salah tulis akan dikoreksi dan dikonversi melalui aplikasi Sirekap.

Ketua KPU mengklaim bahwa KPU Pusat telah memonitor daerah mana saja yang mengalami kesalahan antara unggahan formulir C Hasil Plano di TPS dengan konversi di aplikasinya.

Salah satu masalah yang disorot adalah ketidaksesuaian hasil pembacaan Sirekap dengan perolehan suara di C hasil yang diunggah.

Nah? Ada dugaan angka kecurangan dalam aplikasi Sirekap.

 

***

 

Capres 03 Mahfud MD, buka suara soal diagram pada aplikasi Sirekap milik Komisi Pemilihan Umum, yang mendadak hilang dan tak lagi dapat diakses oleh publik.

Soal temuan Mahfud, Komisi Pemilihan Umum malah berkilah meminta publik memantau media sosial KPU daerah untuk mengetahui rekapitulasi hasil penghitungan suara. Ini karena KPU belum berencana membuka kembali tabulasi rekapitulasi suara di Sirekap yang ditutup.

Anggota KPU, Idham Holik, mengatakan, KPU belum berencana membuka kembali tabulasi perolehan suara di Sirekap. Laman Sirekap tetap difungsikan untuk mengunggah formulir C Hasil dari tempat pemungutan suara dan hasil rekapitulasi berjenjang di tingkat kecamatan hingga nasional.

Bagi masyarakat yang ingin mengetahui perolehan suara pemilu yang resmi, diminta KPU mengakses website ataupun media sosial rekapitulator. Ini karena memang KPU wajibkan kepada rekapitulator daerah agar segera mengumumkan hasil rekapitulasi yang ditetapkan," ujar anggota KPU RI, Idham Holik, kepada Kompas.com, Kamis (7/3/2024). Lalu apa gunanya membayar aplilasi Sirekap semahal itu?

Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini ikut buka suara terkait KPU yang menutup diagram perolehan suara pemilu di Sistem Rekapitulasi Suara (Sirekap) yang ternyata menjadi polemik.

Menurut Titi Anggraini, KPU seharusnya tidak menutup diagram pemilu pilpres dan pileg dalam real count di sistem tersebut.

"Yang ditutup ini, kan pie chart (diagram lingkaran, red.) dan angka, numerik, grafik pie chart dan numerik. Itu sangat membantu pemilih pada masa jeda menunggu penetapan pemilu pada tanggal 20 Maret 2024, selain memang urgensi adanya C Hasil dan berbagai sertifikat di setiap tingkatan rekapitulasi suara," ingat Titi Anggraini, Rabu (6/3/2024).

Menurut Titi, sejatinya Sirekap merupakan sarana publikasi penghitungan dan rekapitulasi suara serta alat bantu dalam rekapitulasi penghitungan suara di setiap tingkatan. Nah, terungkap ketidak efektifan Sirekap dalam publikasi hasil Pemilu.

 

***

Baca Juga: "Memeras" Uang Rakyat

Menurut cawapres Mahfud, persoalan Sirekap menambah satu lagi masalah di internal KPU, dimana lembaga negara penyelenggara pemilu ini tak mampu untuk mengendalikan teknologi informasi atau IT mereka sendiri.

Mahfud mengusulkan dilakukannya audit digital forensik terhadap sirekap, yang sebaiknya dilakukan oleh lembaga independen untuk mengetahui penyebab masalah pada aplikasi tersebut. Maklum, seringkali Sirekap menunjukan data yang tak sesuai dengan data pada Formulir C hasil.

Sebelumnya, Komisioner KPU, Idham Holik, menyebut, hilangnya fitur yang menampilkan diagram perolehan suara pemilu 2024 di aplikasi Sirekap, memang disengaja dan merupakan kebijakan baru dari KPU, di mana kini KPU hanya menampilkan bukti autentik dari perolehan suara peserta Pemilu.

Mahfud ada benarnya. Sebab sirekap diatur dalam Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2024. Tujuan awal sirekap untuk mendukung transparansi rekapitulasi suara yang dilakukan oleh KPU.

Dengan telah menjadi polemik publik, KPU sebagai penggagas, akal sehat saya mesti bertindak cepat melakukan koreksi. Bukan menutup. Ini terkait data angka yang anomali. Wajar kini publik mengusik transparansi yang berbentuk dua arah yaitu transparansi melahirkan akuntabilitas melalui partisipasi masyarakat yang maksimal

 

***

 

Data yang saya peroleh penggunaan aplikasi ini dibuat berdasarkan nota kesepahaman, bukan perjanjian hukum.

Nota Kesepahaman atau MoU bukanlah kontrak. MoU sendiri dibuat dalam langkah awal negosiasi kerja sama bisnis atau transaksi. Orang hukum tahu, MoU sendiri dibutuhkan dalam proses kerja sama mengenai tuntutan dan keinginan kedua belah pihak dalam kerja sama.

Pendeknya, MoU sebagai suatu gentlement agreement. Artinya MoU mengikat hanya sebatas ikatan moral belaka. Sementara MoU sebagai gentlemen agreement tidak mengikat secara hukum. Pesan hukumnya, para pihak yang melakukan pengingkaran terhadap MoU tidak dapat digugat ke pengadilan.

Kelazimannya, Nota Kesepahaman adalah kesepakatan di antara pihak untuk berunding dalam rangka membuat perjanjian di kemudian hari. Ini antisipasi, apabila hal-hal yang belum pasti telah dapat dipastikan.

Dengan demikian, MoU yang isinya tak memenuhi unsur-unsur perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata tak mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagaimana perjanjian. Namun, jika isinya hanya hal-hal yang bersifat general, MoU bukanlah sebuah perjanjian.

Jelas, secara hukum KPU tidak bisa menuntut Wakil Rektor ITB, karena yang dilakukan nota kesepahaman, bukan perjanjian.

Bila ada yang menggugat Sirekap KPU harus mempertanggungjawabkan ke publik (negara) dan pemerintah. Bila tidak, KPU bisa dianggap melakukan pemborosan penggunaan dana APBN.

Ini ruang bagi KPK menyeret Ketua KPU.

Menurut akal sehat saya, program Sirekap yang berlepotan seperti yang diungkap beberapa parpol di Medsos diduga hanya menguras Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN).

Dengan kata lain, ongkos yang harus dikeluarkan untuk Sirekap tak sebanding dengan manfaat di masyarakat.

Ada apa KPU membuat aplikasi yang terkesam 'mengecer-ecer' dana APBN?

Pendanaan Sikerap sepertinya nggak terasa habisnya di ongkos administrasi. Dan yang menikmati birokrasi daripada rakyat pemilih.

Saya tak paham cara KPU dapat membelanjakan anggaran APBN seperti Sirekap?

Ada tidak transparan penggunaan APBN kepada masyarakat.

Dengan fakta diatas, mayoritas anggaran ke Sirekap diduga bukan digunakan untuk kegiatan produktif. Diduga ada pemborosan dalam pembelanjaan oleh KPU. Saatnya masyarakat sipil menyenggol KPK ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU