Home / Opini : Kasih Karunia

Kisah Warga Kisten Gaza Saat Puasa

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 24 Mar 2024 20:34 WIB

Kisah Warga Kisten Gaza Saat Puasa

Saya selalu ingat salah satu momentum berbagi kasih dengan teman muslim ketika perayaan hari besar agama Islam, puasa.

Sebagai umat Kristen, bertahun tahun saya bisa memahami lebih dekat agama yang dianut teman Muslim ketika Ramadhan.

Baca Juga: Mari Hidup Sederhana

Jujur, saat bulan puasa, ada teman seagama dengan saya turut merasakan kebahagiaan yang sama.

Mereka ada yang ikut berjualan ta’jil. Dan laris.

Teman saya turut memperdagangkan makanan-makanan ringannya. Mungkin malah lebih enak, karena mereka bisa koreksi rasa langsung persis setelah memasak dan sebelum dijual ke publik.

Saya pernah membaca media online yang dapat membuka mata publik dunia saat terjadi sebuah ledakan yang sangat mematikan. Ledakan dari artileri Israel yang menghancurkan Rumah Sakit Baptis Al Ahli pada 17 Oktober 2023 lalu. Bom Israel yang menghancurkan fasilitas medis milik umat Kristen di Gaza itu menewaskan hampir 500 orang, demikian menurut otoritas kesehatan Palestina.

Maklum tentara Israel umumnya orang Yahudi.

Ini berdasarkan data Biro Pusat Statistik Israel (CBS) pada tahun 2022. Disebutkan, afiliasi keagamaan penduduk Israel adalah 73,6% Yahudi, 18,1% Islam, 1,9% Kristen, dan 1,6% Druze. Sedangkan penduduk di Palestina adalah 93% beragama Islam Sunni dan hanya 6% Kristen.

Maka itu saat saya membaca media Middle East Monitor edisi Sabtu (15/4/2023) tidak kaget toleransi umat Kristen dan Islam.

Media itu memberitakan ada seorang umat Kristen bernama Ehab Ayyad, dari Gaza menawarkan kurma dan air kepada umat Islam yang terjebak macet atau terlambat pulang untuk berbuka puasa.

Mereka paham, berbuka puasa dengan kurma dan air merupakan tradisi Nabi yang sering diikuti umat Islam

Sebagai seorang Kristen, ia menawarkan kurma dan air kepada saudara-saudara Muslim. "Ini sebagai bentuk berbagi karena kami sama-sama tinggal di tanah air yang sama, dan kami memiliki darah yang sama," kata Ayyad yang berusia 23 tahun, di rumahnya yang didekorasi patung-patung kecil Perawan Maria.

"Mereka pertama kali bertanya-tanya bagaimana seorang umat Kristen melakukan itu, tetapi seiring berjalannya waktu, mereka senang melihat saya setiap tahun," tambahnya.

Gaza adalah jalur pesisir di bawah blokade yang dipimpin Israel sejak 2007 dan dijalankan oleh kelompok Hamas.

Di sana hanya ada sekitar 1.000 orang Kristen. Kebanyakan dari mereka Ortodoks Yunani, dalam populasi 2,3 juta jiwa.

"Ini bukan bulan mereka dan mereka tidak berpuasa, tetapi mereka merasakannya untuk kami dan itu sesuatu yang baik," kata pemilik kedai kopi, Louay Al-Zaharna, setelah menerima salah satu hadiah dari Ayyad.

Baca Juga: Keluarga Kristen Milenial

Di rumahnya, Ayyad, mengatakan pernah mendapat bantuan dari seorang tetangga Muslim berusia 13 tahun untuk menyiapkan bingkisan yang akan dibagikan saat Natal.

“Pada libur perayaan agama kami, tetangga Muslim biasanya datang berkunjung dan memberi selamat kepada kami, dan kami melakukan hal yang sama pada liburan mereka,” kata Ayyad.

Lima tahun lalu, Ayyad telah memulai dengan menawarkan kurma dan air kepada tetangganya, makanan pertama yang biasanya dimakan umat Islam saat mereka mengakhiri puasa saat matahari terbenam.

Kemudian, dia memutuskan untuk melakukan itu pada masyarakat umum.

"Reaksinya positif dan saya senang dan bangga," katanya.

Gaza adalah jalur pesisir di bawah blokade yang dipimpin Israel sejak 2007 dan dijalankan oleh kelompok Hamas. Di sana hanya ada sekitar 1.000 orang Kristen, dan kebanyakan dari mereka Ortodoks Yunani, dalam populasi 2,3 juta jiwa.

Toleransi di Gaza itu mengingatkan saya akan Piagam Madinah.

Piagam ini semacam dokumen kesepakatan antar umat beragama di Madinah. Sampai sini, saya menyadari bahwa dokumen Piagam Madinah sudah seterkenal itu. Dan ini bagus karena artinya mereka menjadi tahu bahwa Islam pada hakikatnya sangat merangkul keberagaman.

Baca Juga: Berdoa Jangan Bertele-tele

Minggu lalu, saya diajak bukber (buka bersama) teman muslim, dan ada pengajian.

Saya ikut mengantri mengambil ta’jil. Sembari menunggu buka, kami mengobrol soal pengalaman pertama saya ikut berbuka puasa. Menurut saya, ada muatan saat pengajian menjelang berbuka barusan menggugah saya .

Isinya ada yang serupa dengan komunitas Kristen mengadakan pengajian, yaitu bersifat normatif saja. Ustadz hanya mengambil garis-garis besar ajaran agamanya kemudian mengaitkannya dengan dalil-dalil nash yang relevan.

Tentang perdamaian, misalnya.

Menurut saya, dalam “pengajian” Kristen pun, topik tentang perdamaian, relasi harmonis lintas agama, dan sebagainya juga sering dibahas.

Justru yang kurang tersentuh adalah kajian tentang isu-isu konkret yang sedang terjadi di Indonesia. Misal pemilu curang.

Kesan saya ikut bukber tampaknya fenomena Kristen, atau non-Muslim, ikut berbuka puasa sudah menjadi realitas yang lumrah dan bukan hal asing lagi. Saya juga yakin, di kota-kota besar yang basis masyarakatnya sangat heterogen seperti Yogyakarta atau Jakarta, akan mudah ditemukan umat non-Muslim mengikuti ritual Muslim atau sebaliknya, seperti ikut berbuka puasa seperti yang kami lakukan.

Saat ikut bukber, saya sebagai umat Kristen juga merasa nyaman dengan umat Islam. Dan saya semakin tertarik untuk belajar tentang Islam. (Maria Sari)

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU