SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Saat ini, segenap civitas akademika menyerukan Indonesia dalam Darurat Demokrasi. Mereka menganggap proses demokrasi di Indonesia mulai tergerus dengan adanya praktik-praktik yang dianggap tidak mengusung kebenaran dan keadilan.
Constitutional and Administrative Law Society (CALS) yang berisikan ahli hukum tata negara dan pemerhati pemilu di Indonesia, misalnya mendesak pemerintah dan DPR mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca Juga: Anies Baswedan, Akademisi yang tak Realistis
Mereka meminta pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan RUU Pilkada.
CALS yang mayoritas akademisi mengancam akan melakukan pembangkangan sipil dan memboikot pilkada jika RUU itu tetap dibahas serta mengabaikan keputusan MK
"Pembangkangan konstitusi oleh Presiden Joko Widodo dan partai politik pendukungnya harus dilawan demi supremasi konstitusi dan kedaulatan rakyat," bunyi keterangan CALS yang diterima, Rabu (21/8/2024).
***
Sikap mereka, karena DPR menggelar rapat Baleg Rabu (21/8). Saat itu Baleg DPR langsung membentuk Panitia Kerja RUU Pilkada.
Panja kemudian membahas daftar inventaris masalah (DIM) RUU Pilkada hanya membutuhkan waktu sekitar satu jam. Lalu rapat dilanjutkan dengan penyampaian pendapat masing-masing fraksi mulai pukul 15.30 WIB.
Pimpinan rapat Baleg DPR Achmad Baidowi (Awiek) menyimpulkan RUU Pilkada disetujui oleh mayoritas partai. Keputusan pun dibuat pada 16.55 WIB. Artinya, revisi UU ini hanya butuh waktu tujuh jam untuk disepakati ditingkat Baleg.
Sudah sejak Pemilu 2024 lalu, Mahasiswa dan akademisi sudah menilai aktivitas politisi kebanyakan amoral dalam demokrasi saat ini. “Secara sistem dan prosedural, demokrasi kita memang baik. Namun, pada kenyataannya jauh panggang dari api. Ragam intimidasi dan aktivitas amoral dalam demokrasi yang dijalankan rezim benar-benar membuktikan bahwa demokrasi kita memanglah demokrasi cacat,” kata dalam Ngobrol @tempo, “Indonesia Darurat Demorasi” di Gedung Tempo Jakarta, Minggu, 11 Februari 2024.
***
Akademisi telah melihat ada indikasi kecatatan sejak Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres). Putusan tersebut dianggap sebagai biang keladi dari pelanggaran etika dalam kehidupan berdemokrasi.
Ada mahasiswa berpendapat, saat ini, hukum di Indonesia terasa seperti tidak ada harganya. Mereka menuduh para pejabat dan rezim saat ini hanya melacurkan hukum melalui autocratic legalism, yaitu fenomena di mana pemimpin terpilih dan berkuasa melakukan perubahan-perubahan konstitusional dan hukum untuk kepentingan agenda yang tidak demokratis.
Keadaan ini menjadi keresahan bagi semua pihak. Salah satunya civitas akademika dari berbagai kampus membuat petisi dan seruan. Mereka lantang membuat pernyataan sikap dan menyerukan Indonesia dalam Darurat Demokrasi.
Kamis (22/8) Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar demonstrasi bertajuk 'Jogja Memanggil'. Mereka meminta DPR membatalkan revisi Undang-Undang Pilkada yang isinya berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Sejak Kamis pagi , ratusan mahasiswa berkumpul di Bundaran UGM untuk berkonsolidasi sebelum menuju DPRD DIY. Menteri Aksi dan Propaganda BEM KM UGM, Arga Luthfi, mengatakan mahasiswa menuntut pemerintah dan DPR membatalkan revisi UU Pilkada yang telah disepakati dalam rapat Baleg.
"Tuntutannya adalah satu membatalkan RUU Pilkada yang sangat kacau itu, terutama yang bisa melanggengkan kekuasaan politik dinasti dari Presiden Jokowi dan juga kita menolak politik dinasti dan juga pencerabutan demokrasi yang dilakukan oleh satu pihak tertentu," ujarnya.
Ternyata ada dukungan, dari Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM). Dekan meliburkan kelasnya hari ini dan mengizinkan para mahasiswa untuk turun ke jalan.
***
Catatan jurnalistik saya seruan Darurat demokrasi telah dirasakan segenap civitas akademika sejak Pemilu 2024, Februari lalu.
Sejak saat itu, kelihatan prinsip bottom up menjadi salah satu cara agar demokrasi berjalan dengan semestinya, tak jalan.
Baca Juga: Nyali KPK, Diuji Menantu Jokowi
Ketua BEM Universitas Trisakti, Vladima Insan Mardika, saat itu mengatakan, sejumlah dosen, mahasiswa, dan alumni Universitas Trisakti menyuarakan keresahannya lewat maklumat yang salah satu poinnya menyatakan pemilu 2024 adalah pemilu pertama pasca reformasi yang paling tidak fair. Lebih lanjut ia mengatakan Pemilu 2024 masih sangat jauh dari marwah Pemilu yakni jujur dan adil.
“Sangat jauh sekali. Hari ini kita juga bisa melihat banyak di perguruan tinggi yang juga dapat manis-manis dari negara untuk melakukan operasi senyap. Bahkan sempat ditemukan juga ada operasi-operasi yang dilakukan untuk pebungkaman dan juga untuk mendekorasi. Seolah-olah barang busuk ini terlihat wangi indah. Tapi kan itu tidak akan menutup karakter aslinya,” kata dia.
***
Suka atau tidak, saat ini yang bermain oligarki elite politik. Sadar atau tidak, disana ada aliran uang. Saya ingat Pasal 515 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyebutkan seseorang yang terbukti melakukan politik uang bisa di pidana paling lama 3 tahun dan denda sebesar Rp 36.000.000.
Akal sehat saya bilang, karena politik oligarki hukuman yang tepat money politic semestinya didiskualifikasi agar mendapat efek jera buat elite dan parpolnya. Akal sehat saya bilang politik uang hanya akan mengikis dan mendegrasi masyarakat karena dilemahkan dengan bantuan uang.
***
Akal sehat saya bilang, wajar segenap civitas akademika menyerukan Indonesia dalam Darurat Demokrasi. Mereka menganggap proses demokrasi di Indonesia mulai tergerus dengan adanya praktik-praktik yang dianggap tidak mengusung kebenaran dan keadilan.
Dari sistem dan prosedural, demokrasi memang baik. Namun, pada kenyataannya jauh panggang dari api. Ragam intimidasi dan aktivitas amoral dalam demokrasi yg dijalankan rezim benar-benar membuktikan bahwa demokrasi kita cacat.
Keadaan saat wajar ini menjadi keresahan bagi warga yang berakal sehat termasuk civitas akademika.
Baca Juga: Menyorot Gaya Hidup Bobby, Kaesang dan Paus
Akal sehat saya bisa menerima bila sekarang berbagai kampus bergolak melakukan perlawanan. Bisa diterima akal sehat, kini mereka lantang membuat pernyataan sikap dan menyerukan Indonesia dalam Darurat Demokrasi. Seruan pernyataan sikap itu dilakukan setelah mencermati perkembangan konstelasi politik nasional saat putusan MK mau dikangkangi dengan membuat opsi revisi UU Pilkada.
Darurat demokrasi yang dirasakan saat ini bukanlah tanpa solusi. Masih ada. Apa? Jalankan putusan MK yang bersifat final dan mengikat?
Tidak ditafsirkan dengan membuat aturan "tandingan" revisi UU Pilkada.
Akal sehat saya melihat ada dugaan intervensi dari pemerintah. Ini sangat terasa. Dibuktikan oleh ikut campurnya pemerintah dalam kontestasi politik ini, baik menyangkut Gibran maupun sekarang, Kaesang .
Ada semacam pengaruh politik dinasti. Wajar ada yang menilai pemerintahan Jokowi tidak netral dalam menghadapi Pilkada serentak 2024. Tak salah ada dugaan pemerintah ikut bermain. Join the game.
***
Akal sehat saya mengatakan revisi Undang-Undang (UU) Pilkada yang tidak sesuai perintah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) akan memperumit penyelenggaraan Pilkada serentak 2024. Sebab, proses pencalonan kepala daerah yang tak sesuai perintah putusan MK, pada akhirnya bisa digugat melalui sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU).
Mengingat putusan Mahkamah Agung (MK) tidak dapat dianulir dengan revisi undang-undang yang sebelumnya dibatalkan MK.
Apalagi ahli hukum waras tahu putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga DPR, presiden, hingga KPU harus melaksanakannya.
Kini sadar atau tidak telah terjadi kemelut politik dan hilangnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Maka rangkaian protes dan unjuk rasa di sejumlah wilayah di Indonesia, bisa masuk darurat Indonesia. Ini mengingatkan saya tentang kerusuhan 13-15 Mei 1998.
Kerusuhan ini akhirnya berujung pada pengunduran diri Presiden Soeharto dan jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun. Apakah Pak Jokowi, tak khawatir? ([email protected])
Editor : Moch Ilham