Buruh: UU Cipta Kerja tak Pro Rakyat

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 07 Okt 2020 22:16 WIB

Buruh: UU Cipta Kerja tak Pro Rakyat

i

Aksi massa yang kontra terhadap pengesahan UU Cipta Kerja

SURABAYAPAGI.COM, Jakarta –  Jauh sebelum digedok dan disahkan, UU Cipta Kerja Omnibus Law sudah ditolak beberapa buruh dan para akademisi. Bahkan, dua fraksi di DPR RI juga menyatakan walk out saat menggedok UU Cipta Kerja itu. Adalah Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera.

"Bahwa kami memihak rakyat, apa yang menjadi harapan rakyat itu yang kami perjuangkan. Bahwa perjuangan kami di legislasi kalah tidak masalah, tapi kami sudah berbuat yang terbaik untuk rakyat kita. Itu yang kita lakukan," kata Benny K. Harman.

Baca Juga: Tuntutan Tak Terpenuhi, Serikat Buruh Ancam Mogok Kerja Nasional hingga Ajukan Gugatan Hukum

Menurut Benny, RUU tersebut hanya mementingkan kelompok tertentu saja. Ia mendorong jika ada pihak yang menolak Omnibus Law Cipta Kerja untuk mengajukan Judicial Review.

"RUU ini sepenuhnya untuk melayani kepentingan dan keserakahan pengusaha-pengusaha yang menurut kami berada di lingkungan oligarki kekuasaan saat ini," ucapnya.

 

Tak Pro Rakyat

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menegaskan bahwa pihaknya menolak omnibus law cluster ketenagakerjaan. Yang secara langsung berarti melakukan revisi terhadap UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Terkait pasal tersebut yaitu tentang upah, pesangon, tenaga kerja asing (TKA), jam kerja, outsourcing, jaminan sosial, dan lain sebagainya.

KSPI juga menolak keras wacana perubahan sistem upah menjadi upah per jam. Karena prinsip upah minimum saat ini adalah safety net atau jaring pengaman agar buruh tidak absolut miskin.

"Isi omnibus law tersebut sangat merugikan buruh. Antara lain pengurangan nilai pesangon, pembebasan TKA buruh kasar, penggunaan outsourcing yang masif, jam kerja yang fleksibel, termasuk upah bulanan diubah menjadi upah per jam," kata Presiden KSPI Said Iqbal.

Untuk pesangon juga dipermasalahkan oleh KSPI. Bila dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pesangon PHK diatur maksimal hingga 32 kali upah.

Sedangkan dalam UU Cipta Kerja, penghitungan pesangon PHK diubah menjadi 19 kali upah ditambah 6 kali jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), sehingga totalnya menjadi 25 kali upah.

Said Iqbal juga mempertanyakan sumber dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dalam membayar upah buruh.

Ia menilai skema pemberian pesangan oleh perusahaan dan pemerintah melalui JKP tidak masuk akal karena sumber dana yang tidak jelas.  “Dari mana BPJS mendapat sumber dananya? Dengan kata lain, nilai pesangon berkurang walaupun dengan skema baru yaitu 23 bulan upah dibayar pengusaha dan 9 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan tidak masuk akal. Karena tanpa membayar iuran, tapi BPJS membayar pesangon buruh 9 bulan," ujar Said Iqbal.

 

Timbulkan Kejahatan Korporasi

Baca Juga: Puluhan Ribu Buruh Tuntut UMK Naik 15 Persen, Sekdaprov Jatim: Maksimal 6,13 Persen

Selain KSPI, Walhi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) juga memberikan sejumlah catatan soal UU Cipta Kerja, yaitu terkait perlindungan hutan. Menurut Manager Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi Wahyu Perdana, UU Cipta Kerja mengancam keberlangsungan hutan karena menghapus batas minimum kawasan hutan dan daerah aliran sungai (DAS). Kemudian, ancaman kedua adalah dalam konteks kejahatan korporasi. 

Sementara, Ketua Desk Politik Walhi Khalisa Khalid mengatakan bahwa pihaknya menyesalkan pengesahan RUU ini karena mengabaikan suara publik yang menolak.  "Keselamatan rakyat dan agenda penyelamatan lingkungan hidup akan semakin menemui tantangan yang lebih berat. Karena sejak awal aturan ini memang menjadi karpet merah untuk kemudahan investasi, khususnya industri ekstraktif," kata dia.

 

Pengelola Investasi

Sementara, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartarti mengkritisi ketentuan tentang pembentukan lembaga pengelola investasi yang diatur dalam UU Cipta Kerja.  "Kemudahan investasi itu memang dibutuhkan, tapi tidak perlu sampai menjadi lembaga yang superbody seperti yang ada di dalam UU ini," kata Enny.

Menurut Enny, UU Cipta Kerja memberikan kewenangan yang begitu besar kepada Lembaga Pengelola Investasi.  Padahal, kewenangan yang besar ini berpotensi dapat memunculkan penyalahgunaan wewenang.

Sedangkan, Amnesty International Indonesia menilai bahwa UU Cipta Kerja yang baru disahkan DPR sangat tidak progresif.

Baca Juga: Puluhan Ribu Buruh Tuntut UMK Naik 15 Persen, Sekda Provinsi Jatim: Maksimal 6,13 Persen Ring 1 Jadi Prioritas

Sebaliknya, banyak ketentuan dalam UU tersebut yang melanggar prinsip non-retrogesi sehingga membawa kemunduran dalam hal pemenuhan hak-hak masyarakat.

Amnesty menyoroti sejumlah ketentuan yang dinilai bermasalah dalam UU tersebut, mulai dari terkait perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) hingga klaster lingkungan. Atas persoalan-persoalan itu, Amnesty International meminta pemerintah dan DPR untuk dapat merevisi UU Cipta Kerja dan membenahi ketentuan-ketentuan yang bermasalah tersebut.

 

Cacat Formil dan Materiil

Sementara Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai bahwa omnibus law RUU Cipta Kerja memiliki kecacatan, baik secara formil maupun materiil. Ketua Pukat UGM Oce Madril menyebut bahwa proses pembentukan RUU Cipta Kerja ini berlangsung sangat cepat, tertutup, dan minim partisipasi publik. "RUU Cipta Kerja bermasalah baik secara proses, metode, maupun substansinya," kata Oce.

Secara substansi, RUU Cipta Kerja ini mengarah pada sentralisasi kekuasaan yang rentan terhadap potensi korupsi. Menurut Oce, dalam RUU Cipta Kerja, terdapat potensi penyalahgunaan wewenang pada ketentuan diskresi. 

Sebab, RUU ini menghapus persyaratan "tidak bertentangan dengan UU" yang sebelumnya ada dalam UU Administrasi Pemerintah. jk/erk/ff

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU