Predikat Surabaya Kota Layak Anak, Dipertanyakan

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 02 Feb 2022 20:59 WIB

Predikat Surabaya Kota Layak Anak, Dipertanyakan

i

Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya Yusuf Masruh saat mengunjungi keluarga korban di Jalan Kutisari Utara Gang 3, Surabaya, Rabu (2/2). SP/Alqomar

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Belum lama ini, warga Surabaya dikejutkan dengan aksi kekerasan oknum guru di SMPN 49 Surabaya yang membenturkan kepala siswa ke papan tulis.

Aksi yang terekam dalam video berdurasi 3 menit tersebut, menuai banyak kritikan dari sejumlah pihak. Bahkan walikota Surabaya Eri Cahyadi pun turun tangan mengatasi masalah tersebut.

Baca Juga: KPU Kota Surabaya Mulai Seleksi Calon Anggota PPK dan PPS Pilkada 2024

Hingga kini, mediasi antara pihak sekolah dan wali siswa telah dilaksanakan atas bantuan Eri Cahyadi. Bahkan laporan hukum wali murid ke kepolisian, rencananya akan dicabut.

Menurut Anggota Dewan Pendidikan Jawa Timur, Isa Ansori, kejadian yang menimpa MR,  siswa SMPN 49 Surabaya pada 29 Januari lalu, seharusnya tidak terjadi. Mengingat kota Surabaya di tahun 2021 lalu, berhasil menyandang predikat Kota Layak Anak (KLA) Kategori Utama dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA).

Bahkan penghargaan KLA tersebut merupakan penghargaan ke-4 kalinya yang diterima oleh kota dengan julukan kota pahlawan.

Isa bahkan mempertanyakan, manifestasi kota layak anak yang diterima pemerintah dalam segala bidang kebijakan yang berada di bawah satuan kerja pemkot.

"Saya ingin mempertanyakan Surabaya itu kan ramah anak, apakah dinas pendidikan sudah menterjemahkan konsep ramah anak ke dalam dunia pendidikan, misalkan menjadi pendidikan yang layak anak. Jangan-jangan tidak ada. Kalau tidak ada, kemudian bagaimana sekolah bisa menterjemahkan itu," kata Isa Ansori kepada Surabaya Pagi, Rabu (02/02/2022).

Sejauh ini kata Isa, ia belum melihat ada aturan formal dalam bentuk dokumen atau kebijakan resmi dari dinas pendidikan Surabaya terkait korelasi antara kota layak anak dengan pendidikan layak anak atau sekolah ramah anak.

Oleh karenya, ia meminta agar pemerintah melalui dinas pendidikan, segera menerjemahkan predikat KLA dalam dunia pendidikan.

"Saya kira belum ada. Dinas pendidikan harus buat blue print terjemahan kota layak anak ke pendidikan yang layak anak menurut karakteristik sekolah masing-masing. Sehingga akan ada barier. Dan semua akan terjaga dan tidak melakukan sesuatu yang melakukan melanggar ketentuan yang ada," jelasnya.

Dasar hukum pembuatan pendidikan layak anak sebetulnya telah ada sejak lama. Setidaknya ada dua dasar hukum yang dapat digunakan oleh dinas pendidikan.

Pertama adalah peraturan pemerintah (PP) nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional. Berikutnya adalah PP nomor 57 tahun 2021.

"Acuannya pada PP 19 tahun 2005, kemudian yang terbaru PP 57 tahun 2021. Disitu diterjemahkan menjadi indikator sekolah ramah anak, yang kayak apa, sarana kayak apa, prasarana kayak apa. Jangan-jangan dinas pendidikan belum punya," ucapnya.

"Jadi kita harus menerjemahkan, kota layak anak menjadi pendidikan layak anak, dan sekolah ramah anak. Indikator itu tadi 8 standar yang ada dalam PP tadi. Kemudian diinsert UU perlindungan anak," katanya menambahkan.

Selain ditingkatan birokrasi, ia juga menegaskan perlunya partisipasi sekolah dalam mengejawantahkan KLA ke dalam sekolah layak anak.

Pihak sekolah kata Isa, harus berkoordinasi bersama wali murid untuk menentukan batas-batas yang dilakukan oleh guru manakala mendidik siswa.

Dalam terminologi pendidikan, ada istilah keras dan tegas. Tugas tenaga pendidikan adalah untuk mendidik siswa agar disiplin dan bertanggung jawab secara tegas dan atau bukan keras.

"Harus paham tegas dan keras. Kalau tegas itu ada aturan. Keras gak ada aturan.  Supaya pendidikan itu mengedepankan ketegasan bukan kekerasan, kepala sekolah, guru dan wali murid harus duduk dan membuat aturan mana yang boleh, mana yang tidak boleh," ucapnya.

"Kalau terjadi pelanggaran sanksinya harus dirumuskan seperti apa. Sehingga mereka semua bertanggung jawab," tambahnya.

Baca Juga: KPU Surabaya Paparkan Seleksi Calon Panitia Pemilihan Gubernur dan Walikota Tahun 2024

Kendati begitu ketika menjalankan tugas, ketegasan guru dalam mendidik siswa juga perlu dilindungi. Tahun 2017, PGRI telah melakukan MoU bersama Polri terkait perlindungan hukum profesi guru.

Sejumlah aturan yang telah dibuat ini lanjutnya, juga dapat menjadi landasan sekaligus batasan bagi guru atau tenaga pendidik dalam menjalankan tugasnya.

"Kan sudah aturan. Saya kira, MoU antara kapolri dengan PGRi itu bagian dari perlindungan. Sehingga guru dalam menjalankan tugas tidak perlu takut tetapi juga tidak boleh serta merta melakukan kekerasaan," pungkasnya.

 

 

Kondisi Psikologis

Terpisah, sejak awal terjadinya kekerasan kepada MR, Dinas Pendidikan (Dispendik) Kota Surabaya langsung memberikan pendampingan psikologis kepadanya. Sebab, Dispendik ingin korban merasa aman dan nyaman lagi berada di sekolah. Alhasil, saat ini psikologis MR tidak masalah dan dia pun tetap melanjutkan sekolahnya.

“Alhamdulillah untuk psikologis anaknya tidak ada masalah, karena sejak awal kita terus dampingi juga. Kita juga dibantu teman-teman dari DP3APKB (Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana) untuk mendampingi anak-anak,” kata Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya Yusuf Masruh saat mengunjungi keluarga korban di Jalan Kutisari Utara Gang 3, Surabaya, Rabu (2/2).

Menurut Yusuf, salah satu bukti bahwa psikologisnya tidak masalah adalah MR dan saudaranya masih tetap masuk sekolah meskipun ada kejadian itu. Bagi dia, hal ini tidak boleh terlambat, karena kalau dia tidak masuk sehari saja, berarti psikologisnya kena. “Jadi, saya memang utamakan untuk kepentingan anak dulu, dan alhamdulillah kondisinya sudah bagus sekarang,” kata dia.

Yusuf juga menjelaskan bahwa guru di sekolah itu merupakan orang tua kedua, sehingga dia berharap di sekolah itu harus dibuat senang. Makanya, guru dan kepala sekolah itu harus bisa menyayangi anak didiknya seperti yang disampaikan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi. “Kalau anak disayangi dan dibuat senang, insyallah anak-anak itu kerasan di sekolah,” ujarnya.

Baca Juga: Gibran Absen di Otoda 2024 Surabaya, Mendagri Tito Bocorkan Alasannya

 

 

Minta Maaf

Sementara itu, Ketua PGRI Kota Surabaya Agnes Warsiati yang turut serta mengunjungi keluarga korban menyampaikan permohonan maaf mewakili PGRI Surabaya, karena ini merupakah salah satu kekhilafan bagi seorang guru. Ia juga yakin dan percaya bahwa kejadian ini akan semakin menguatkan bagi semua guru di Surabaya.

“Yang paling penting juga kejadian ini akan menjadi pembelajaran bagi kita para guru agar guru memang benar-benar fitrohnya menyayangi anak dan empati pada anak. Itu yang selalu dan harus menjadi pedoman dalam mendidik, walaupun hatinya seperti apa, tapi karena itu adalah anak-anak, ya kita yang harus tetap menyayangi dan kita harus kembali dan ingat bahwa kita sebagai pendidik, betul-betul fitroh kita sebagai mendidik,” kata Agnes.

Bagi dia, mendidik itu harus sebagai orang tua yang mana harus selalu panjang sabar. Makanya, kejadian ini merupakan suatu pembelajaran bagi semuanya. Bagaimana pun juga, seorang guru itu akan membawa arah pendidikan Surabaya, apalagi anak-anak sudah dua tahunan tidak sekolah, sehingga tugas seorang guru harus terus memberi keamanan dan kenyamanan bagi siswa pada saat sekolah.

“Kita harus banyak mengambil pelajaran dari kejadian ini, supaya pendidikan di Surabaya bisa lebih baik,” ujarnya.

Agnes menambahkan, anak-anak yang dididik hari ini adalah harapan dan masa depan pemimpin- pemimpin bangsa. Suatu saat nanti, mereka akan menjadi pemimpin di bidang mereka masing- masing, makanya dia mengajak kepada seluruh guru di Kota Surabaya untuk mendidik anak-anak itu dengan tulus dan ikhlas.

“Kalau anak-anak ini sukses, kita juga yang turut bangga karena sudah menjadi guru yang berhasil mendidik anak-anak kita,” pungkasnya. Alq/sem

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU