Home / Peristiwa : Peringatan Hari Antikorupsi

Revisi UU KPK Suburkan Korupsi di Indonesia

author surabayapagi.com

- Pewarta

Kamis, 09 Des 2021 20:30 WIB

Revisi UU KPK Suburkan Korupsi di Indonesia

i

Haryanto

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya- 9 Desember 2021, diperingati sebagai Hari Antikorupsi Sedunia atau Hari Antikorupsi Internasional. Peringatan ini merupakan peringatan rutin tahunan setiap 9 Desember. Korupsi merupakan 'penyakit kronis' yang jaringan sosial, politik, dan ekonomi semua negara, tak terkecuali Indonesia.

Secara indeks korupsi, Indonesia terbilang cukup tinggi. Data dari Transparency International Indonesia (TII) menunjukan, tahun 2020 indeks persepsi korupsi (CPI)  Indonesia berada pada peringkat 102 dari 180 negara.

Baca Juga: Terbukti Terima Suap Rp 927 Juta, Eks Kajari Bondowoso Divonis 7 Tahun, Eks Kasipidsus 5 Tahun

Dari penilaian CPI, Indonesia mendapatkan poin 37. Dimana skala penilaian yang digunakan ialah 0 (sangat korup), hingga 100 (sangat bersih).

Padahal di tahun 2019, Indonesia masih meraih skor 40 dan menempati ranking 85 dari 180 negara. Kini anjlok hampir 20 posisi ke peringkat 102.

Di level ASEAN, Indonesia berada di peringkat lima. Berada di bawah Singapura yang memperoleh skor IPK 85, Brunei Darussalam (60), Malaysia (51) dan Timor Leste (40).

Menanggapi akan hal ini, Peneliti Rumah Keadilan Ladito Risang Bagaskoro sekaligus dosen hukum pidana Universitas Brawijaya menyebutkan, pangkal persoalan terletak pada kebijakan pemerintah selama tahun 2019.

Salah satunya adalah berkaitan dengan revisi Undang-undang nomor 30 tahun 2002 (UU KPK). Dimana tersebut, di masa itu ditentang oleh masyarakat bahkan hingga melakukan aksi masa secara masif di sejumlah daerah.

"Banyak faktor memang. Tapi hemat saya revisi UU KPK itu menjadi pangkal utamanya. Bahwa akhirnya trust masyarakat terhadap agenda pemberantasan korupsi menurun. Dan itu dibuktikan dengan banyak survey," kata Dito kepada Surabaya Pagi.

Di tahun 2019 kata dia, setidaknya pemerintah menunjukan ketidakjelasan orientasi dalam hal merumuskan kebijakan pemberantasan korupsi. Bahkan di tahun selanjutnya, 2020, pemerintah lagi-lagi mengeluarkan regulasi yang dinilai berpihak pada oligarki dan bukan pada para pekerja.

Hal ini dapat dilihat dari terbentuknya Omnibus law UU Cipta kerja yang akhirnya dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi pada beberapa waktu lalu.

"Ini yang menjadi konsern rumah keadilan. Di tahun 2020, ada banyak aturan yang seharusnya dibahas oleh pemerintah dan DPR dalam hal menjaga semangat pemberantasan korupsi. Sebut saja revisi UU tindak pidana korupsi, rancangan UU perampasan aset, dan rancangan UU pembatasan transaksi tunai, tapi ini tidak dijadikan prioritas agenda. Justru omnibus law ciptaker yang dibahas dan akhirnya hasilnya kita tahu sendiri. Jadi ada berbagai regulasi penting yang justru tidak diprioritaskan," katanya.

Oleh karenanya ia meminta, di hari anti korupsi sedunia kali ini pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi, kembali memperkuat semangat pemberantasan korupsi sebagimana janjinya saat dilantik sebagai presiden.

"Program Stanas PK (Strategi Nasional Pencegahan Korupsi_red) itu bisa dimaksimalkan lagi di semua lembaga pemerintahan dari tingkat pusat hingga daerah termasuk BUMN dan BUMD," ucapnya.

Perlu diketahui, data dari KPK pada November 2021 menunjukan, setidaknya telah ada sekitar 21 gubernur dari 34 provinsi di Indonesia yang terlibat kasus korupsi. Sementara untuk walikota dan bupati sebanyak 129 orang. Secara akumulasi, telah ada sekitar 150 kepala daerah yang telah tersangkut kasus tindak pidana korupsi.

Untuk kasus sendiri, saat inu sekitar 739 kasus korupsi dengan modus suap yang telah ditangani KPK. Dan untuk pengadaan barang dan jasa 236 kasus serta penyalahgunaan anggaran 50 kasus.

 

Kultur

Baca Juga: Dokternya Bisa Bisa Dibidik Halangi Penyidikan

Terkait akan hal tersebut, Ketua Peradi Surabaya Haryanto menjelaskan, persoalan korupsi di Indonesia bermuara pada kultur masyarakat. Kultur yang dimaksud adalah selalu memberikan sesuatu ketika telah ditolong.

Kultur ini kata Haryanto sebetulnya adalah hal yang baik. Namun, kultur ini akhirnya dimanfaatkan oleh sekelompok orang atupun oknum pejabat.

"Tapi akhirnya oleh oknum aparat dijadikan bargaining. Kalau mau bantu urusan, aku dapat apa. Kebiasaan yang baik ini, berubah buruk. Jadi meminta imbalan dan akhirnya menjadi transaksi," kata Haryanto kepada Surabaya Pagi.

Dalam praktek korupsi lanjutnya, ada andagium lama yakni selama ada pembangunan, ada perizinan, korupsi juga semakin banyak.

Oleh karenanya, ia meminta presiden selaku komando tertinggi wajib turun tangan menyelesaikan persoalan tersebut. Pengawasan wajib diperketat bila ada kebijakan yang berpotensi menggunakan uang negara.

Menurutnya, sikap Jokowi selama ini belum menunjukan ketegasan dalam hal pemberantasan. Padahal secara regulasi dan aturan pemidanaan korupsi, telah diatur terkait sanksi maksimal hukuman mati bagi pelaku korupsi.

Merujuk pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukuman mati sebenarnya tercantum dalam pasal 2 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Secara verbatim pasal 2 ayat (2) UU 31/1999 menyebutkan, "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan."

"Secara regulasi saya kira sudah oke. Seharusnya presiden yang menjadi panglima secara tegas menyatakan saya komandonya. Kalau ada yang korupsi akan saya hukum mati. Tapi selama ini belum ada contoh seperti itu," katanya.

Baca Juga: Jet Pribadi, Mobil Lexus, Vellfire dan Jam Tangan Richard Mille Seharga Rp 2,2 M

 

Selalui Heboh

Terpisah, Aktivis anti korupsi Surabaya Umar Solahudin mengatakan, secara fundamental apa yang dilakukan KPK selama ini adalah bagian dari tindakan represif atau tindakan pemidanaan.

Sehingga bila tindakan penanganan kasus korupsi oleh KPK membuat kehebohan di publik, secara hukum kata Umar adalah sesuatu yang wajar.

"Dalam konteks penegakan hukum, saya kira  masih wajar. Itu juga bisa menjadi shock terapi bagi calon-calon yang akan melakukan tindakan korupsi agar berpikir ulang untuk melakukan korupsi," kata Umar kepada Surabaya Pagi.

Saat ini yang lebih penting lanjutnya, adalah memberikan ruang gerak yang fleksibel kepada KPK khususnya dalam hal penindakan kasus korupsi.

Ditambah lagi, saat ini kepercayaan publik terhadap KPK cendrung menurun. Hasil survei Indikator pada November 2021 lalu menunjukan tingkat kepercayaan publik pada KPK mengalami penurunan sebesar 13 persen dari 84 persen pada tahun 2018 menjadi 71 persen di tahun 2021.

"Tentu saja kita tahu berdasarkan survey, persepsi kepercayaan masyarakat terhadap KPK turun. Saya kira pengumuman kepada publik bagian dari upaya mendapatkan kepercayaan masyarakat," tambahnya.sem

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU