HRS, Justru Lemahkan Gubernur Anies

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 16 Nov 2020 21:50 WIB

HRS, Justru Lemahkan Gubernur Anies

i

Habib Rizieq Shihab saat bertemu dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam suatu acara beberapa hari yang lalu.

Pakar Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) dr Windhu Purnomo, Sosiolog Unair Dr. Achmad Chusairi, MA, dan Pengamat Sosiologi Politik Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya Moh. Ilyas Rolis S.Ag., M.Si., Minta Pemerintah DKI Jakarta Lakukan Tracking dan Testing. Pemerintah harus Lebih Kuat dari Kepentingan Kelompok Tertentu dan Apapun Alasannya

 

Baca Juga: FPI, PA 212, hingga GNPF-Ulama ke MK Dukung Putusan Adil

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya – Kegaduhan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) saat membuat acara kegiatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan dibarengin dengan pernikahan putrinya di Petamburan, Jakarta Selatan, dianggap telah melanggar protokol kesehatan Covid-19. Pasalnya, ditengah pandemi Covid-19 saat ini, Pemerintah DKI Jakarta, melalui Gubernur DKI Anies Baswedan, tidak secara tegas memberikan sanksi kepada kegiatan HRS. Hanya diberi sanksi administrative Rp 50 juta yang sudah diteken oleh Kasatpol PP Pemprov DKI Jakarta. Alhasil, masyarakat baik di DKI dan seluruh Indonesia, merasa kecewa dengan sikap pemerintah yang abai dalam mengantisipasi kegiatan yang membut kerumunan besar. Bahkan, dalam dua hari, peningkatan jumlah kasus Covid-19 di Indonesia melonjak tajam hingga 5.400 kasus.

Kekecewaan pun tak hanya datang dari masyarakat, tetapi juga sejumlah pihak di Surabaya, seperti pakar Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) dr Windhu Purnomo, Sosiolog Unair Dr. Achmad Chusairi, MA, serta pengamat Sosiologi Politik Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya Moh. Ilyas Rolis S.Ag., M.Si., yang dihubungi secara terpisah oleh tim Surabaya Pagi dan SURABAYAPAGI.com, Senin (16/11/2020).

Dari kacamata Pakar Epidemiologi Unair, dr. Windhu Purnomo kerumunan, walaupun belum mengalami ribuan, sudah dipastikan beresiko meningkatkan dan memunculkan peningkatan baru.

"Peristiwa seperti itu sangat beresiko untuk meningkatkan penularan. Kita tinggal menunggu saja 14-15 hari kedepan setelah peristiwa itu berakhir bagaimana kasus baru itu berakhir di DKI Jakarta," ungkap dr Windhu, dengan nada kecewa, Senin (16/11/20).

Menurutnya, hal tersebut bisa langsung terdeteksi bila Pemerintah DKI Jakarta melakukan tracking dan testing. "Kalau dua hal itu tidak di lakukan ya tidak kelihatan. Maka pemerintah DKI Jakarta harus melakukan hal itu. Satgas daerah dan pusat harus membayar itu, apalagi satgas pusat turut membantu memberikan sumbangan masker," tegasnya.

Menurutnya, penegakan protokol kesehatan merupakan tanggung jawab seluruh elemen masyarakat, terutama tokoh masyarakat  harus bisa menjadi panutan.

"Berbicara mengenai kepatuhan protokol kesehatan itu kita perlu keteladanan juga. Karena kita dimasa pandemi, melindungi diri sendiri dan orang lain itu perlu. Pemerintah juga harus antisipasi dengan melakukan tindakan preferentif. Jadi bukan memberikan denda ketika sudah selesai, itu sama saja dengan biaya ijin acara," keluhnya.

Windhu Purnomo berharap Pemerintah DKI Jakarta lebih serius melakukan pencegahan. "Jangan sampai ada tanda-tanda kerumunan dan sebaiknya di bubarkan. Denda uang itu tidak seberapa, apalagi bila satu orang tertular lalu menularkan kepada yang lainnya, maka biayanya bisa lebih besar dari denda itu, dan yang menanggung adalah pemerintah," katanya.

 

Kurang Serius

Sedangkan, Sosiolog Unair, Dr. Achmad Chusairi, mengungkapkan bila hadirnya pendukung Habib Rizieq memperlihatkan kesolidan dan menunjukan loyalitas mereka. "Secara sosial, ini melihatkan cukup solidnya para pendukung. Selain loyal juga mungkin ada yang menggerakkan," ungkap Achmad Chusairi.

Namun, upaya Pemerintah untuk menegakkan kedisiplinan protokol kesehatan, menjadi tidak serius dengan tidak menaati himbauan yang telah dibuat. Menurutnya, masyarakat secara umum bisa mencontoh kasus pandemi yang terjadi Jakarta atau kasus yang lain, hal ini membuat pemerintah harus membangun kembali kepercayaan masyarakat.

Baca Juga: AMIN dan Ganjar, Akui Saksinya Dintimidasi

"Artinya himbauan pemerintah sebagai pengelola negara dengan mudah di abaikan oleh status sosial orang tertentu," katanya.

Disinggung mengenai sanksi yang telah dikatakan kepada imam besar FPI tersebut, Achmad Chusairi menanggapi bila SOP yang ditentukan, maka pemerintah daerah sudah menjalankan SOP yang mereka buat sendiri.

Namun sebaliknya, bila SOP tersebut hanya setengah-setengah atau sanksi yang menunjukan wibawa pemerintah, mungkin juga tidak menyelesaikan masalah. "Karena kasus itu sendiri sudah merugikan pemerintah dari segi himbauan dari kebijakan pemerintah. Lalu sanksi sosial untuk mengurangi kekecewaan masyarakat dalam penegakan protokol kesehatan. Jadi harus ditegakkan dengan sungguh-sungguh," terangnya.

"Konflik kepentingan itu tentu ada, artinya kalau tidak ngomong sanksi, kerumunan sendiri itu saja sebetulnya sudah merugikan pemerintah dalam hal penegakan protokol kesehatan.  Artinya kebijakan pemerintah itu dilanggar. Sanksi yang diberikan itu hanya menyelamatkan saja, mengurangi dampak buruknya," imbuhnya.

Seharunya, bila sudah bersifat himbauan dan Pemerintah kuat pada regulasi yang di buat, maka sebelum peristiwa tersebut terjadi maka bisa dicegah.

"Namun karena tekanan politik lebih tinggi dan pemerintah menjadi ragu maka itu yang kita sayangkan. Pemerintah harus lebih kuat dari kepentingan kelompok tertentu dan apapun alasannya begitu," pungkasnya.

 

Baca Juga: Dugaan Nepotisme Jokowi 'Dijlentrekkan' di Gedung MK

Tak Perlu Istimewakan

Terpisah, pengamat Sosiologi Politik UINSA, Moh Ilyas Rolis, menilai, sejak kepulangan HRS di Indonesia, kerumunan terjadi dimana-mana. Bahkan, ibukota DKI Jakarta sendiri terkesan tak bisa mengendalikan kehadilan HRS. Justru kini, Anies Baswedan, sebagai Gubernur, diterjang kritik keras dari netizen melalui media sosial.

Menurutnya, masyarakat Indonesia harus berkaca pada pendirian Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang menolak menghadiri acara pemberian penghargaan di Istana Negara.

"Rekomendasi menjaga prokes dikala pandemi ini berlaku bagi semuanya, seperti lembaga pemerintahan, keagamaan dan lainnya. Lihat pak Gatot, beliau masih patuh," ungkap Moh. Ilyas Rolis, Senin (16/11/2020).

Menurut Ilyas, masyarakat harus sadar dan harus mematuhi apa yang direkomendasikan oleh dokter dan pakar kesehatan. "Sebenarnya masyarakat tidak perlu mengisitimewakan Habib Rizieq lah, Habib itulah… Dan Anies Baswedan pun tidak perlu begitu," tambahnya.

Peristiwa kerumunan yang disebabkan oleh HRS, justru melemahkan Anies Baswedan dalam menjalankan protokol kesehatan dan politiknya. Ia juga menilai hal ini tidak sehat bagi pertumbuhan demokrasi.

"Jadi, seluruh masayarakat harus memegang konsensus nasional, harus tunduk pada hukum dan Pancasila. Maka itu, tidak boleh ada yang diistimewakan di negara demokrasi ini. Kita semua sama. Ketika ada yang melanggar, mekanisme hukum harus dijalankan dan tidak boleh tumpul," pungkas Moh Ilyas. byt/mbi/cr2/jk/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU