Percaya Adanya Reinkarnasi dan Karma

author surabayapagi.com

- Pewarta

Kamis, 21 Nov 2019 09:08 WIB

Percaya Adanya Reinkarnasi dan Karma

Uniknya Prosesi Pemakaman Etnis Tionghoa SURABAYAPAGI.COM, Surabaya -Adat upacara kematian suku Tionghoa menjadi daya tarik tersendiri bagi semua orang. Banyak filosofi-filosofi yang ditanamkan ketika suku Tionghoa melakukan sesuatu hal salah satunya dalam upacara kematian suku Tionghoa ini. Adat upacara kematian Tionghoa dilatarbelakangi oleh kepercayaan mereka. Mereka mempercayai bahwa dalam relasi seseorang dengan Tuhan atau kekuatan-kekuatan lain yang mengatur kehidupan baik langsung maupun tidak langsung, berlaku hal-hal sebagai berikut: Pertama, Adanya reinkarnasi bagi semua manusia yang telah meninggal (cut sie). Kedua, Adanya hukum karma bagi semua perbuatan manusia, antara lain tidak mendapat keturunan (ko kut). Ketiga, Leluhur yang telah meninggal (arwah leluhur) pada waktu-waktu tertentu dapat diminta datang untuk dijamu (Ceng beng). Keempat, Menghormati para leluhur dan orang pandai (tuapekong). Kelima, Kutukan para leluhur, melalui kuburan dan batu nisan yang dirusak (bompay). Dan terakhir, Apa yang dilakukan semasa hidup (di dunia) juga akan dialami di alam akhirat. Kehidupan sesudah mati akan berlaku sama seperti kehidupan di dunia ini namun dalam kualitas yang lebih baik. Ada berbagai macam tata cara pemakaman jenazah suku Tionghoa, salah satunya yakni peti mati. Prosesi pemakaman menggunakan peti mati untuk etnis Tionghoa ini mempunyai banyak keunikan tersendiri. Salah satunya bentuk makam yang khas. Makam-makam etnis Tionghoa biasanya dipenuhi dengan arsitektur bangunan yang khas terutama pada batu nisan. Makam etnis Tionghoa mempunyai ciri gundukan tanah yang agak tinggi, berukuran besar, ada meja persembahan di depan nisan, ada tonggak Dewa Bumi sebagai penjaga di sebelah kiri makam, dan nisan yang disebut bongpai bertuliskan kanji China. Kemudian, sering kita jumpai bahwa makam etnis Tionghoa memiliki kemegahan tersendiri atas besar kecilnya makam. Etnis Tionghoa menganggap bahwa besar kecilnya makam biasanya mencerminkan status yang dimakamkan. Semakin besar makam, semakin tinggi status yang dimakamkan. Selain status social, penentuan besar kecilnya makam juga ditentukan berdasarkan konsep pemakaman. Orang China tradisional percaya orang meninggal akan berpindah tempat ke dunia lain. Dunia tersebut mirip dengan dunia hidup sebagai manusia. Jadi saat dimakamkan jenazah orang China tradisional akan mengenakan pakaian terbaik dan semua barang kesukaan semasa hidup ikut dikuburkan. Dunia tersebut mirip dengan dunia hidup sebagai manusia. Jadi saat dimakamkan jenazah orang China tradisional akan mengenakan pakaian terbaik dan semua barang kesukaan semasa hidup ikut dikuburkan. Selanjutnya batu nisan. Batu nisan makam etnis Tionghoa juga ternyata menentukan tinggi rendahnya status social seseorang. Zaman dulu makam-makam China bongpainya (nisan) terbuat dari kayu untuk orang-orang yang tidak mampu. Namun untuk makam makam pejabat dan orang kaya, biasanya menggunakan bongpai batu dan berukir aneka simbol religi di makamnya. Ragam hiasan di bongpai diambil dari aneka motif, gambar yang berkaitan dengan kisah dewa-dewa, simbol-simbol keberuntungan, kesejahteraan, bakti dan hal-hal baik. Terakhir, tidak semua jenazah orang China dimakamkan, alternatif lain adalah kremasi. Biasanya dilakukan sesuai permintaan sebelum meninggal. Untuk itu ada rumah abu, tempat menaruh abu jenazah dan tetap didoakan saat momen Ceng Beng. Pada tahun 2018, di negara China telah melarang adanya upacara kematian menggunakan peti mati. Alasannya, bahwa penguburan jenazah membuang-buang lahan, yang mana lahan tersebut bisa lebih baik difungsikan sebagai lahan pemukiman untuk warga sekitar. Namun, Kebijakan ini juga menghancurkan mata pencarian pembuat peti mayat karena pembuatan dan penjualan peti mati juga dilarang. Kebijakan sejumlah provinsi di China melarang peti mati dan pemakaman dikritik sebagai kebijakan barbar dan tidak popular. Apalagi kebijakan ini dibuat tanpa melibatkan masyarakat. Terlepas dari itu, upacara kematian peti mati memiliki berbagai tahapan prosesi pemakaman. Pertama yakni, prosesi sebelum masuk peti, dimana disini mayat dimandikan layaknya manusia dan dikenakan baju dan barang yang melekat pada diri mayat. Kedua, upacara masuk peti dan penutupan peti. Di prosesi ini, seluruh keluarga harus menggunakan pakaian tertentu. Kemudian saat penutupan peti, upacara penutupan peti dipimpin oleh hweeshio atau cayma atau tergantung agama yang dianut. Dalam upacara ini juga dilakukan pemecahan sebuah kaca/cermin yang kemudian dimasukkan ke dalam peti mati. Menurut kepercayaan mereka, pada hari ke tujuh almarhum bangun dan akan melihat kaca sehingga menyadarkan dia bahwa dirinya sudah meninggal. Ketiga yakni upacara pemakaman. Menjelang peti akan diangkat, diadakan penghormatan terakhir. Dengan dipimpin oleh hwee shio atau cayma, kembali mereka melakukan upacara penghormatan. Sesudah menyembah (soja) dan berlutut (kui), mereka harus mengitari peti mati beberapa kali dengan jalan jongkok sambil terus menangis; mengikuti hwee shio yang mendoakan arwah almarhum. Terakhir, upacara sesudah pamakaman. Semenjak ada yang meninggal sampai saat tertentu, semua keluarga harus memakai pakaian dan tanda berkabung terbuat dari sepotong blacu yang dilikatkan di lengan atas kiri. Tidak boleh memakai pakaian berwarna ceria, seperti : merah, kuning, coklat, oranye.

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU