Home / Opini : Jumat Berkah

Resiko Gugat Cerai

author surabayapagi.com

- Pewarta

Kamis, 24 Agu 2023 21:03 WIB

Resiko Gugat Cerai

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Ferry Irawan, tanggal 17 Agustus lalu, mendapatkan remisi satu bulan penjara. Terpidana KDRT itu langsung bebas. Diluar kasus pidananya, Ferry Irawan dan Venna Melinda telah diputus cerai pada tanggal 3 Agustus 2023.

Dalam putusannya, Pengadilan Agama Jakarta Selatan, mengabulkan gugatan  Ferry mencerai Venna. Dibaliknya ia dituntut untuk membayar uang mut'ah sebesar Rp 30 juta dan uang nafkah masa idah selama 3 bulan yaitu Rp 30 juta. Pihak Ferry dikabarkan tak sanggup membayar uang tersebut. Venna cemberut. Ia menyebut putusan tersebut sudah konsekuensi Ferry ajukan diri sebagai penggugat cerai.

Baca Juga: Bulan Ramadhan

Dalam Islam, perceraian adalah berakhirnya pernikahan antara suami dan istri. Suami atau istri dapat mengajukan gugatan cerai ke pengadilan.

Ada tahapan tahapan putusan cerai. Ada tahap mediasi dulu. Termasuk menghadirkan saksi-saksi di persidangan. Nah, jika alasan pisah diterima, pengadilan akan mengabulkan gugatan tersebut.

Mengapa tahapan-tahapan ada mediasi. Ya, karena suatu pernikahan merupakan hubungan suci, murni dan sakral (mitsaqan ghalizhan).  Pesan religinya, pernikahan harus dijaga oleh pasangan suami-istri. Penjagaan tersebut tentunya dengan dipenuhinya sebuah kewajiban dan diperolehnya hak-hak sebagai konsekuensi dari sebuah pernikahan.

 Di dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan “pernikahan adalah hubungan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa”.

Juga disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam bahwa, “pernikahan menurut Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya sebagai ibadah.

Ketentuan perceraian telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam praktik, sidang perceraian bisa dilanjutkan apabila kedua belah pihak telah sepakat untuk menandatangani surat perceraian dan melengkapi seluruh syarat yang dibutuhkan di pengadilan nanti.

Ada alasan yang dibolehkan seorang suami mengajukan gugatan cerai. Antara lain: Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang susah disembuhkan.

Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain (KDRT), seperti yang dilakukan Ferry Irawan terhadap Vena Melinda.

Jika istri akan menggugat cerai suami, maka istri harus mengajukan gugatan tersebut di pengadilan tempat suami berdomisili. Sedangkan, membuat Surat Gugatan dan harus mencantumkan alasan menggugat cerai.

Alasan gugatan cerai harus dapat diterima pengadilan, seperti ada unsur penganiayaan, penelantaran, kekerasan, pertengkaran terus menerus, dan alasan lainnya.

 

Menyiapkan Biaya Perceraian

Biaya selama masa sidang cerai wajib dibayar pihak yang mengajukan gugatan cerai. Biaya-biaya tersebut, antara lain biaya pendaftaran, biaya meterai, biaya proses (ATK), biaya redaksi, dan biaya panggilan sidang.

Biaya yang dikeluarkan selama proses sidang perceraian tergantung dari kedua belah pihak yang bercerai. Kalau salah satu pihak tidak pernah menanggapi surat panggilan persidangan, maka pihak pengadilan berhak membebankan biaya yang lebih besar. Tapi, hal ini kembali lagi tergantung pada jumlah ketidakhadiran pihak yang bercerai.

Jika tergugat tidak pernah memenuhi panggilan dari  pengadilan untuk mengikuti sidang, maka  pengadilan dapat membuat amar putusan yang berisi pemutusan sah antara suami dan istri.

Amar putusan ini kemudian akan dikirimkan kepada pihak tergugat sebagai bukti kalau pernikahan sudah berakhir. Apabila pihak yang tergugat sama sekali tidak memberi tanggapan mengenai amar putusan, maka pengadilan berhak membuat surat akta cerai.

Baca Juga: Zikir Penenang Hati

Berdasarkan SEMA Nomor 3 Tahun 2015 tanggal 29 Desember 2015, menyebutkan dalam amar putusan cerai talak, tidak perlu menambahkan kalimat “memerintahkan Pemohon untuk membayar atau melunasi beban akibat cerai sesaat sebelum atau sesudah pengucapan ikrar talak” karena menimbulkan eksekusi premature”.

 

Menafkahi

Usai putusan, ada nafkah idah yang  bermakna biaya, belanja, pengeluaran uang.

Kata nafkah  dari kata al-infaq yang berarti pengeluaran. Namun apabila kata nafaqah ini dihubungkan dengan perkawinan mengandung arti “sesuatu yang dikeluarkan dari hartanya untuk kepentingan istrinya sehingga menyebabkan hartanya menjadi berkurang.

Seorang istri yang telah bercerai dengan suaminya masih mendapatkan hak dari mantan suaminya selama masih dalam masa idah.

Ini karena pada masa tersebut seorang istri tidak boleh keluar rumah dan juga tidak boleh menerima pinangan orang lain. Istri yang telah bercerai dengan suaminya akan mendapatkan hak-hak terbagi menjadi tiga, yaitu:

Seorang istri yang dicerai oleh suaminya dalam bentuk thalaq raj’iy, hak yang akan diterimanya penuh dan akan mendapatkan hal-hal yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya, baik itu pakaian, makanan dan tempat tinggal.

Seorang istri yang dicerai oleh suaminya dalam bentuk thalaq bain sughra dan thalaq bain kubra yang dalam keadaan hamil. Ulama telah sepakat bahwa istri tersebut mendapatkan hak nafaqah dan tempat tinggal hingga melahirkan. Apabila istri tidak dalam keadaan hamil dan di talak ba’in kubra, para ulama’ berbeda pendapat. Pertama, istri berhak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah. Pendapat ini menurut ulama’ Hanafiyah, Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz, Ats-Tsauri dan Ahmad.

Kedua, istri tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal, pendapat ini menurut Imam Ahmad dalam riwayat yang mashur, Abu Tsaur dan Abu Daud.

Baca Juga: Pegadaian Kanwil XII Bagikan Ribuan Makanan Siap Saji kepada Masyarakat

Ketiga, istri mendapatkan tempat tinggal akan tetapi tidak berhak mendapatkan nafkah, pendapat ini menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.

Seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Apabila seorang istri yang telah ditinggal tersebut dalam keadaan hamil, ulama telah sepakat bahwa dia berhak atas nafkah dan tempat tinggal, sedangkan apabila istrinya tidak dalam keadaan hamil maka para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama di antaranya Imam Malik, Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa istri yang menjalani masa idah wafat berhak mendapatkan tempat tinggal.

Sebagian ulama di antaranya Imam Ahmad berpendapat bahwa istri yang menjalani masa idah wafat dan tidak hamil, tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.

Mutah juga terkadang dibaca dengan mit’ah. Kata mutah sendiri merupakan variasi lain dari kata al-mata’ yang berarti sesuatu yang dijadikan sebagai objek bersenang-senang. Secara definitif, makna mutah adalah “sejumlah harta yang wajib diserahkan suami kepada isterinya yang telah diceraikannya semasa hidupnya dengan cara talak atau cara yang semakna dengannya” .

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, mut'ah ialah sesuatu (uang, barang dsb) yang diberikan suami kepada istri yang telah diceraikannya sebagai bekal hidup (penghibur hati) bekas istrinya. yang menjadi legalitas mutah adalah QS. al-Baqarah (2): 241, yang artinya: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mutah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa”.

Pemberian mutah merupakan perintah Allah SWT kepada para suami agar selalu mempergauli istrinya dengan prinsip imsak bil ma’ruf aw tasrihu bi ihsan (mempertahankan ikatan perkawinan dengan kebaikan atau melepaskan/ menceraikan dengan kebajikan). Anjuran ini mempunyai tujuan yaitu apabila hubungan pernikahan terpaksa diputuskan, maka hubungan baik dengan mantan istri dan keluarganya harus tetap dijaga dan dipertahankan meskipun harus memberikan mutah, pemberian tersebut harus dilakukan dengan iklas dan sopan tanpa menunjukkan kegusaran hati atau penghinaan terhadap mantan istri. Ribet dan mahal kan? Saran saya, hindari cerai.

Pesan ulama perceraian dalam Islam sebenarnya tidak dilarang. Namun Allah SWT membenci keputusan tersebut. Hal ini karena bercerai adalah pilihan terakhir yang bisa diambil jika memang tidak ada cara lain untuk menyelesaikan masalah rumah tangga. ([email protected])

 

Oleh:

Hj. Lordna Putri

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU