Happy Hypoxia, The Silent Killer-nya Covid-19

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 30 Agu 2020 21:39 WIB

Happy Hypoxia, The Silent Killer-nya Covid-19

i

Gambar visual

 

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Sebanyak tiga pasien Covid-19 di RSUD Prof Dr. Margono Soekarjo, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, meninggal setelah sebelumnya mengalami happy hypoxia, atau juga dikenal dengan silent hypoxia. Juga ada salah satu pasien di RS Mitra Keluarga Waru, yang tak memiliki gejala, namun meninggal dunia karena sebelumnya mengalami happy hypoxia, sebelum terpapar virus Covid-19 usai test PCR Swab.

Baca Juga: Dokter Paru Mereaksi Jokowi Soal Endemi

Kejadian happy hypoxia itu menjadi salah satu gejala baru dari tanda-tanda infeksi Covid-19 yang baru terkuak pada bulan Agustus 2020.

Apakah Anda mengenal ciri penyakit happy hypoxia yang mematikan? Dari penjelasan Dirut RSUD dr Soetomo Surabaya, dr Joni Wahyuhadi, serta Martin J. Tobin, dokter spesialis Paru dari Loyola University Chicago Stritch School of Medicine, Amerika Serikat, menyebut gejala Covid-19 dengan happy hypoxia merupakan suatu silent killer alias pembunuh diam-diam.

Happy hypoxia adalah kondisi yang muncul ketika kadar oksigen di tubuh menurun drastis. Biasanya, orang yang mengalami hipoksia akan merasa sesak napas, batuk-batuk, detak jantung cepat, serta napas yang berbunyi.

“Namun pada orang-orang yang mengalami happy hypoxia, gejala-gejala tersebut tidaklah muncul. Sebaliknya, mereka tetap bisa berkegiatan seperti biasa, padahal organ-organ vital di tubuhnya sudah “teriak” minta tolong karena kekurangan oksigen,” ujar dr Joni.

Dirut RSUD dr Soetomo itu mengatakan, meski pasien sehat-sehat saja, tetapi kadar oksigen sudah turun dibawah 80 persen.  “Dengan kondisi semakin memburuk, akhirnya baru terlihat di rumah sakit. Ini yang menjadi penyebabnya,” tambah Joni, Minggu (30/8/2020).

Baca Juga: Awas Covid-19 Varian Kraken, Tingkat Penularannya Cepat

Senada juga diutarakan Martin J Tobin, dokter spesialis Paru dari Loyola University Chicago Stritch School of Medicine, Amerika Serikat yang dikutip Surabaya Pagi dari laman situs The New York Times, nytimes.com, Minggu (30/8/2020).

Menurut Tobin, normalnya, saturasi oksigen dalam darah sebesar 95-100 persen. Fungsi saturasi ini yang membuat sel darah merah atau hemoglobin dapat mengikat oksigen dengan baik lalu akan menyampaikannya ke seluruh sel pada jaringan tubuh.

Akan tetapi, saat mengalami hypoxia maka saturasi oksigen mengalami penurunan, di bawah level normal. "Tapi dalam beberapa kejadian, pasien masih nyaman dan bahkan bisa berponsel saat di mana dokter seharusnya sudah harus menyusupkan ventilator mekanis kepadanya," kata Martin J. Tobin.

Tobin menemukan fenomena itu saat meneliti 16 pasien Covid-19 yang memiliki kadar oksigen dalam darahnya sangat rendah. Bahkan ada yang sampai 50 persen. Tobin dkk menelisik pula bagaimana otak merespons kadar oksigen yang drop itu hingga si pasien bisa 'tak merasakannya', atau terlambat merasakannya. "Mungkin saja virus corona mempengaruhi fungsi tubuh yang bisa merasakan kadar rendah oksigen," katanya.

Baca Juga: PPKM Dicabut, Dinkes Kabupaten Mojokerto Tetap Siagakan Ruang Isolasi

Fenomena dalam studi itu serupa dengan temuan yang diumumkan Tim penyakit infeksi emerging (PIE) RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Senin 23 Agustus 2020. Beberapa pasien Covid-19 di rumah sakit itu terlihat biasa-biasa saja, atau setidaknya hanya sedikit sesak. Padahal saat dicek, saturasi oksigennya sudah di level 70 hingga 80 persen.

"Hasil analisis gas darah arteri (AGD) juga menunjukkan tanda gagal napas. Tetapi pasien saat itu baik-baik saja, bisa berkomunikasi seperti biasa," kata Wisuda Moniqa Silviyana, dokter spesialis penyakit paru. adt/ana/rmc

 

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU