Heran, Skandal Pandora Papers Belum Diseriusi Pemerintah

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 08 Okt 2021 20:24 WIB

Heran, Skandal Pandora Papers Belum Diseriusi Pemerintah

i

Ilustrasi karikatur

Padahal Libatkan Penyelenggara Negara Luhut dan Airlangga

 

Baca Juga: Dokternya Bisa Bisa Dibidik Halangi Penyidikan

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya  - Belum lama ini, sejumlah negara tak terkecuali Indonesia dikejutkan dengan temuan Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) yang berisi data-data kekayaan petinggi negara hingga artis di negara surga pajak (tax heaven), salah satunya adalah British Virgin Island.

Data-data tersebut dirangkum dalam satu papers berukuran 2,95 terabyte, yang kemudian disebut dengan pandora papers. Dalam pandora papers ini, setidaknya berisikan mengenai bisnis para elite dunia dari 200 negara yang berada di negara surga pajak. Selain itu pula, tak kurang dari 300 pejabat publik yang namanya dicatut dalam dokumen tersebut.

Di daerah surga pajak, para elite membentuk perusahaan atau jaringan bisnis lain seperti perusahaan cangkang, untuk memberi properti atau menyembunyikan aset di negara lain. Praktik ini diterapkan untuk menghindari pajak.

Dinukil dari laporan Tempo pada 7 Oktober kemarin, perusahaan cangkang (shell company) biasanya didirikan pada negara surga pajak atau suaka pajak dengan tujuan untuk menghindari pajak yang tinggi mengenai asetnya di dalam negeri.

Modusnya adalah dengan mengalihkan laba perusahaan afiliasi pada perusahaan cangkang. Saat laba teralihkan, nilai pajak pada perusahaan afiliasi akan berkurang. Hal yang sama juga digunakan dalam menutupi laba dari tindak pidana.

Balik ke pandora paper, beberapa nama seperti Raja Yordania, Abdullah, mantan PM Inggris Tony Blair, Perdana Menteri (PM) Ceko, Andrej Babis hingga Presiden Rusia Vladimir Putin juga dicatut dalam papers ini.

Bahkan Raja Yordania dilaporkan diam-diam membelanjakan lebih dari 100 juta dollar AS (Rp 1,4 triliun lebih) untuk membangun kerajaan properti di AS dan Inggris. Hal serupa juga terjadi pada Tony Blair. Laporan tersebut menunjukan, ia dan istrinya menghindari biaya meterai sebesar 312.000 pounds (Rp 6 miliar lebih) ketika mereka membeli gedung perkantoran di London.

Di Indonesia sendiri, setidaknya ada 2 pejabat publik yang namanya juga dicatut dalam pandora paper. Kedua sejoli ini adalah  Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan serta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

Dalam laporan yang diunggah dalam situs resmi ICIJ pada 3 Oktober lalu, menunjukan Menko Luhut memiliki aset pada perusahaan asal Republik Panama, yaitu Petrocapital S.A. Perusahaan yang didirikan pada tahun 2006 oleh Edgardo E.Dia dan Fernando A.Gil. Petrocapital memiliki modal disetor senilai US$ 5.000.000. Salah satu bidang usaha adalah minyak dan gas bumi. Dan Luhut sempat menjadi Direktur Utama atau Ketua Perusahaan pada Petrocapital S.A pada tahun 2007 hingga pada tahun 2010.

Adanya temuan ini juga sudah dibenarkan oleh Juru Bicara Menkomarves, Jodi Mahardi bahwa benar Luhut pernah memiliki aset pada Petrocapital S.A.

Sama halnya dengan Luhut, Airlangga Hartanto juga memiliki aset pada perusahaan cangkang di British Virgin Islands atau wilayah yurisdiksi yang bebas pajak di kawasan Karibia. Dalam menjalan bisnis ini, ia bekerjasama dengan adiknya  Gautama Hartarto.

Tak tanggung-tanggung, di British Virgin Island, Airlangga mempunyai dua perusahaan bernama Buckley Development Corporation dan Smart Property Holdings Limited. Dua perusahaan ini sebetulnya pernah diungkap dalam dokumen Panama Papers ditahun 2016 lalu.

Bahkan dalam laporan tersebut juga menyebutkan Airlangga diduga sebagai penerima manfaat dari Smart Property Holdings Ltd dan Burkley Development Corporation, dua perusahaan cangkang yang berada di British Virgin Islands.

 

Ada Skenario Besar

Adanya dua nama pejabat publik Indonesia yang masuk dalam pandora papers, menjadi perhatian masyarakat. Pakar Ekonomi Universitas Brawijaya Malang, Iswan Noor menyampaikan, pemerintah harus segera menindaklanjuti temuan ICIJ tersebut.

Secara ekonomi kata Iswan, setidaknya ada 3 skenario besar manakala seseorang meninvestasikan sahamnya di luar negeri. Skenario pertama adalah untuk melakukan ekspansi bisnis. Bila ingin melakukan ekspansi bisnis ke luar negeri, tentunya harus mencari negara yang berpotensi mendatangkan keuntungan bagi pengusaha.

"Ini sahamnya di British Virgin Island, kalau kita lihat di peta itu negara kecil. Bahkan penduduknya lebih sedikit dari perusahaan di sana. Secara ekonomi tidak masuk akal, melampaui hukum permintaan dan penawaran," kata Iswan Noor saat dihubungi  Surabaya Pagi, Jumat (08/10/2021).

Kendati begitu kata Iswan, secara ekonomi tidak ada larangan bagi WNI untuk menyimpan hartanya di luar negeri atau di negara manapun. Investasi di dalam negeri maupun di luar negeri tentu memiliki konsekuensi yang berbeda.

Baca Juga: Uangnya Rp 40 M Disita KPK, Mantan Mentan Panik

Untuk aset ataupun harta yang di dalam negeri seperti tanah, rumah, perhiasan, saham, tabungan dan kendaraan,  kewajibannya adalah membayar pajak kepada negara RI. Dan bila seseorang adalah Pejabat Negara maka ada kewajiban  melaporkan kekayaannya itu ke KPK saat memulai jabatannya.

Berbeda untuk harta milik WNI di luar negeri. Bila WNI memiliki aset berupa rumah tinggal di Singapore, saham yang belinya di AS atau China, tabungan di Bank luar negeri, maka kata Iswan, kewajiban bayar pajaknya ke negara-negara dimana harta itu disimpan.

"Selama si WNI patuh bayar pajak di negerinya sendiri (untuk hartanya yang ada di dalam wilayah hukum NKRI),  dan dia patuh pula membayar pajak-pajak di negara asing dimana hartanya itu berada, ya nggak ada masalah," katanya.

"Masalah ini lebih mengarah kepada masalah hukum, yaitu ketika ada kasus pejabat Negara yang tidak melaporkan semua kepemilikan hartanya ke KPK dan Dirjen Pajak saat mengisi SPT," tambahnya lagi.

Skenario kedua adalah motif menghindari pajak. Bila melihat data pandora papers, rerata aset para elit global berada di negara-negara surga pajak atau tax heaven. Sebagai informasi negara surga pajak adalah negara yang menerapkan pajak rendah bahkan bebas pajak. Sehingga sangat cocok untuk mendirikan perusahaan offshore.

Suatu negara bebas pajak biasanya menyediakan perlindungan bagi seseorang atau korporasi dari dikenakannya pajak, sehingga lebih leluasa untuk menjalankan bisnis. Margin yang diperoleh juga besar.

“Kita ambil contoh Indonesia. Untuk pajak penghasilan di atas 500 juta itu nilai pajaknya 30%. Kalau di negara-negara Tax haven, pajaknya rendah di bawah 10% atau bahkan tak dipungut sepeser pun," ucapnya.

Skenario  ketiga adalah money laundry atau pencucian uang. Bila motif pencucian uang yang dominan, maka Iswan menegaskan, agar KPK segera bertindak untuk menelusuri temuan tersebut. Karena yang jelas tindakan tersebut merugikan keuangan negara.

"Kalau pencucian uang, tentu ada unsur pidana korupsi. Maka KPK saya kira harus segera bertindak untuk mengecek itu apakah benar atau tidak," tegasnya.

 

Pemerintah Santai

Baca Juga: KPK tak Gentar Bupati Sidoarjo, Ajukan Praperadilan

Menariknya, skandal pandora papers yang mencatut nama pejabat negara di dalamnya hingga saat ini belum ada tanggapan serius dari pemerintah. Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri melalui Staf Khususnya Yustinus Prastowo mengatakan, pemerintah masih fokus dalam agenda pengesahan RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dalam Rapat Paripurna DPR.

"Menteri Keuangan dan Komisi XI DPR dijadwalkan akan memberikan keterangan pers pasca Paripurna DPR mengenai reformasi perpajakan dan substansi-substansi penting UU HPP (…) Tidak akan ada penjelasan terkait Pandora Papers di Pidato Paripurna ini," kata Yustinus pada 5 Oktober lalu.

Terkait lambannya pemerintah menanggapi pandora papers, sebetulnya telah menjadi lagu lama. Berdasarkan temuan Surabaya Pagi, pada 2016 silam saat kemunculan Panama papers yang juga mencatut nama Luhut, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Azis, juga ditanggapi dengan santai oleh pemerintah.

Bahkan Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) melalui keterangan persnya pada 14 April 2016 lalu, menyayangkan sikap Presiden Joko Widodo yang mengacuhkan Panama Papers. Tundakan pemerintah dinilai sebagai langkah mundur dalam perjuangan meningkatkan penerimaan pajak.

"Sikap pemerintah yang acuh merupakan langkah mundur, tidak memberikan sanksi dan hukuman. Ini adalah kemenangan para pengemplang pajak," kata Manajer Advokasi FITRA Apung Widadi dinukil dari merdeka

Bila menggunakan metode perbandingan, Indonesia seolah membela pejabat negara yang namanya dicatut dalam panama papers pada saat itu. Di Islandia, Perdana Menteri saat itu, Sigmundur David Gunnlaugsson mengundurkan diri pasca namanya dicatut dalam panama papers dan terungkap bahwa ia menggunakan perusahaan bayangan untuk menyimpan sejumlah besar uang, sementara ekonomi Islandia kini dilanda krisis.

Selain PM Islandia, Penjabat Menteri Perindustrian Spanyol Jose Manuel Soria, juga mengundurkan diri karena diduga terkait dengan bisnis "offshore" setelah namanya tercantum dalam "Panama Papers. Menariknya, Soria saat itu telah membantah terkait laporan panama papers, namun ia tetap memilih mengundurkan diri.

Di Indonesia, justru sebaliknya. Nama yang muncul dalam panama papers saat itu seperti Luhut Panjaitan dan Harry Azhar Azis, kini masih nangkring di pemerintahan dan diberikan jabatan oleh pemerintah.

Hingga kini publik terus menunggu respon pemerintah terkait skandal pandora papers. Harapannya, kasus pandora papers yang mencatut nama pejabat negara Indonesia tak tenggelam laiknya panama papers.

Ketegasan pemerintah khususnya presiden sangat dibutuhkan saat ini. Karena kekuatan dan tekanan pemerintah menimbulkan sedikit terjadinya praktek pencucian uang atau korupsi, tetapi kelemahan menimbulkan lebih banyak korupsi. sem,jk2,rl

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU