ICW: Bisnis PCR Raup Untung Rp 23 Triliun

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 01 Nov 2021 20:35 WIB

ICW: Bisnis PCR Raup Untung Rp 23 Triliun

i

Surokim Abdussalam

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya -  Usai penumpang pesawat untuk Jawa dan Bali diwajibkan swab PCR, kini aturan baru dari kementrian perhubungan menyasar pengguna kendaraan pribadi dengan jarak minimal 250 km atau waktu perjalanan 4 jam.

Aturan tersebut termaktub dalam, Surat Edaran Nomor SE 90 Tahun 2021, mengenai Perubahan Atas Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE 86 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Darat Pada Masa Pandemi Covid-19.

Baca Juga: Erick Diingatkan Koboi-koboi Baru Bermunculan di BUMN

Salah satu klausa dalam aturan tersebut menyebutkan, masyarakat yang menggunakan transportasi darat minimal 250 km atau waktu perjalanan 4 jam dari dan ke Pulau Jawa dan Bali, wajib PCR atau Antigen.

Berikutnya, bagi para pengemudi mobil dan pengendara motor wajib menunjukkan surat keterangan hasil RT-PCR maksimal 3x24 jam atau antigen maksimal 1x24 jam sebelum perjalanan.

Setumpuk aturan perjalanan baik dalam bentuk surat edaran ataupun intruksi menteri ini, diduga kuat oleh masyarakat berorientasi pada bisnis. Bisnis yang dimaksud adalah bisnis pengadaan tes PCR bagi masyarakat.

Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam laporannya menyebutkan, sejak Oktober 2020 hingga Agustus 2021, keuntungan yang diraup dari tes PCR yang dilakukan secara mandiri oleh masyarakat mencapai Rp 23,2 triliun.

Jumlah tersebut berasal dari 25.840.025 spesimen yang diambil di 796 laboratorium. Adapun pemataan yang dilakukan oleh ICW, terbagi atas dua. Pertama harga PCR sebelum diturunkan oleh pemerintah melalui  SE No.HK.02.02/1/3713/2020 dan berikutnya adalah harga setelah diturunkan.

Harga sebelum diturunkan berada diangka Rp900 ribu. Pasca SE dikeluarkan turun menjadi Rp 495 ribu. Bila menggunakan patokan harga Rp495 ribu maka potensi keuntungan penyedia jasa yang didapat dari bisnis PCR adalah sebesar Rp10,46 triliun.

 

Luhut dan Erick

Menariknya, bisnis PCR ini diduga mencatut 2 nama menteri yang berada dalam kabinet Jokowi. Kedua sejoli ini adalah Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri BUMN, Erick Thohir.

Dua nama ini mencuat di permukaan pasca Mantan Direktur Publikasi dan Pendidikan Publik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Agustinus Edy Kristianto membeberkan adanya menteri yang terlibat dalam bisnis PCR melalui akun facebooknya.

Menurut Edy, kedua menteri ini diduga terlibat dalam pendirian perusahaan penyedia jasa tes Covid-19, PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI). PT GSI katanya, lahir dari PT Toba Bumi Energi dan PT Toba Sejahtra, anak PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA) yang sebagian kecil sahamnya dimiliki oleh Luhut.

Tak hanya itu, PT GSI juga dilahirkan oleh PT Yayasan Adaro Bangun Negeri yang berkaitan dengan PT Adaro Energy Tbk (ADRO), 6,18 persen sahamnya dimiliki Boy Thohir yang tak lain adalah saudara dari Erick Thohir.

Baca Juga: Erick Thohir, Apa Lemah Nasionalismenya, Terus "Belanja" Pemain Naturalisasi

Benang merah antara kebijakan PCR dengam menteri yang berbisnis PCR pun dijahit rapi olehnya melalui kepemilikan saham pada PT GSI.

Saham PT GSI dipegang oleh Yayasan Indika Untuk Indonesia (932 lembar), Yayasan Adaro Bangun Negeri (485 lembar), Yayasan Northstar Bhakti Persada (242 lembar), PT Anarya Kreasi Nusantara (242 lembar), PT Modal Ventura YCAB (242 lembar), PT Perdana Multi Kasih (242 lembar), PT Toba Bumi Energi (242 lembar), PT Toba Sejahtra (242 lembar), dan PT Kartika Bina Medikatama (100 lembar).

"Itu semua jelas bisnis. Badan hukumnya saja PT. Tujuan PT adalah laba! Ingat, bukan masalah orang dilarang berbisnis tapi lihat dulu posisi siapa yang berbisnis. Sangat tidak bermoral menjadikan jabatan publik sebagai pintu masuk untuk berbisnis memanfaatkan masa pandemi yang menyusahkan rakyat," tulis Edy dalam akun facebooknya.

 

Tak Terkejut

Dugaan fenomena praktek bisnis yang dilakukan oleh menteri ini pun mendapat komentar dari Pengamat politik Universitas Trunojoyo Madura sekaligus peneliti Survey Center (SSC) Surokim Abdussalam.

Menurut Surokim, ia tak terkejut dengan adanya dugaan menteri atau pejabat negara yang memanfaatkan kekuasaan politik untuk berbisnis. Baginya, relasi bisnis di Indonesia itu juga tergantung pada relasi politik.

Baca Juga: Luhut Penasaran, Taylor Swift tak Manggung di Indonesia

"Itu sudah kita endus pasca reformasi. Saya tidak terlalu kaget dengan fenomena seperti ini. Praktek-praktek seperti ini sudah lama," kata Surokim saat dihubungi Surabaya Pagi, Senin (01/11/2021).

Lebih lanjut Surokim tegaskan, agar nama-nama menteri yang diduga memiliki relasi bisnis dalam pengadaan PCR wajib mengklarifikasi di depan publik. Tujuannya adalah agar, isu yang ada ini tidak menjadi bola liar yang akhirnya berpengaruh pada kepercayaan publik.

"Kalau pun ada perusahaan yang terkoneksi dengan beberapa menteri, seharusnya menterinya harus klarifikasi. Sehingga publik diberikan kepastian bahwa kebijakan itu benar-benar kebijakan bukan dibingkai untuk kepentingan bisnis," katanya

Seorang pejabat negara kata Surokim, wajib mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk melindungi seluruh bangsa Indonesia. Hal ini sejalan dengan semangat UUD 1945.

Aturan ataupun kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah selalu bercirikan dua hal. Pertama berorientasi pada proteksi masyarakat, berikutnya adalah untuk kepintingan relasi bisnis atau keuntungan pribadi.

"Kalau ini benar-benar terjadi, sakit hati pasti masyarakat kita mendengar ini. Karena policynya bukan pada proteksi kesehatan, tapi pada bisnis itu tadi. Kebijakan kok dibingkai dalam konteks bisnis seperti itu," ucapnya

"Kapasitas pejabat dan policy di negara kita, betul-betul tidak empatik kalau tujuannya bisnis. Policy itu memang domain negara, tapi lihat juga faktor kepantasan dan kepatutan, itu yang bermasalah. Policy itu tujuannya untuk menata. Cilakanya ini, penataan yang kemudian mengedepankan bisnis dari pada proteksi publik. Tidak empatik kepada publik kalau policy kayak gini," tambahnya. sem/rl

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU