Belajar dari Rumah di Tengah Pandemi, Solusi atau Petaka?

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 02 Feb 2021 14:48 WIB

Belajar dari Rumah di Tengah Pandemi, Solusi atau Petaka?

i

Bagus Stiawan, salah satu siswa SD kelas 3 saat melakukan proses belajar daring dari rumah. SP/ Sem

SURABAYAPAGI,Surabaya - Pagi itu bu Siti salah satu warga asal Bangkalan Madura tengah sibuk mencari pulsa data bagi anaknya yang akan belajar online (daring). 

Dengan motor bebeknya, ia melaju menuju salah satu gerai penjualan pulsa. Beberapa pelanggan kopi di warungnya tidak dihiraukannya. Ia lebih memilih membeli pulsa paket ketimbang melayani para pelanggan.

Baca Juga: Pengamat Sebut Bayu Airlangga Jadi Figur Potensial Diusung Parpol KIM di Surabaya

Usai mengisi paket data, ia kembali mempersiapkan smartphonenya yang nantinya dipergunakan oleh Bagus Stiawan, anaknya untuk sekolah daring. Setelah kelas dimulai, barulah ia melayani para pelanggan yang sedari tadi mengantri

"Ya resikonya gini mas, kalau gak ada paket ya anak saya gak bisa belajar mas," kata Siti sembari membuat secangkir kopi, Selasa (02/01/2021).

Saban hari Siti membuka warung kopi dekat terminal pelabuhan Tanjung Perak. Sebagai single parent, mengasuh dua orang anak yang masih kecil sudah menjadi kewajibannya.

Ia mengaku terpaksa membawa anaknya ke warung sehingga mudah melakukan pendampingan tatkala proses belajar online dimulai. Anaknya kini telah duduk dibangku kelas 3 SD di salah satu sekolah swasta di Surabaya.

"Ya setiap hari gini mas, dampingi mereka terus. Karena kalau tidak, saya takut nilainya bisa jatuh (jelek)," ucapnya.

Orang tua lainnya seperti Ethy Cahyaningtyas juga mengaku hal serupa. Berbeda dengan Siti kekhawatiran Ethy bukan pada nilai anaknya melainkan pada pola perkembangan emosional anaknya.

Sebagai pegawai di salah satu BUMN di Surabaya, Ethy mengaku tidak memiliki waktu yang cukup dalam mendampingi anaknya.

Anaknya kini telah duduk dibangku kelas 6 SD. Dan tengah mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian akhir kelulusan. Kepada saya, ia mengaku khawatir bila model belajar di rumah secara daring terus dilakukan, pola perilaku anaknya tidak akan berkembang secara baik.

"Kalau seandainya 3 tahun saja belajar di rumah terus dilakukan, artinya kalau masuk kembali anak saya sudah SMA dong. Saya takut saja fisiknya di SMA tapi pola pikirnya masih anak SD kelas 6," kata Ethy mengkhawatirkan.

Oleh karenanya Ethy berharap agar pola pembelajaran dari rumah segera ditinjau kembali karena dapat berdampak bagi pola kembang anak.

 

Pola Belajar Konsultasi

Menanggapi akan kekhawatiran orang tua murid, pengamat pendidikan sekaligus anggota dewan pendidikan Jawa Timur (Jatim) Isa Ansori menyebut harus ada perubahan dalam model pendidikan daring yang saat ini tengah digalakkan. 

Menurutnya, proses belajar secara daring seperti saat ini merupakan suatu keniscayaan belajar di tengah pandemi. Disamping pemerintah mengeluarkan aturan terkait hal tersebut.

Secara pribadi Isa menyebut, harus ada proses belajar tatap muka yang dilakukan oleh sekolah bekerjasama dengan orang tua siswa. Proses belajar tatap muka ini lanjutnya, bisa dalam bentuk konsultasi.

"Belajar yang paling moderat adalah sekolah daring dilakukan tetapi dikombinasi dengan tatap muka dalam bentuk konsultasi," kata Isa kepada Surabaya Pagi.

Salah satu contoh model konsultasi adalah misalkan sekolah memberikan tugas rumah kepada siswa terkait pengenalan lingkungan. Orang tua sebagai pendamping di rumah, harus mengarahkan anak terkait apa yang bisa dilakukan dalam rangka pengenalan lingkungan. Selanjutnya hasil dari tugas tersebut, dikirim dan dikonsultasikan oleh siswa ke sekolah.

"Jadi sekolah bisa membuat jadwal konsultasi. Katakanlah muridnya 30. Konsultasinya bisa 6 orang, sehingga 1 minggu anak punya kesempatan ke sekolah 1 kali untuk ketemu gurunya," katanya menjelaskan

"Akhirnya kekhawatiran orang tua terkait pola kembang anak tadi bisa diatasi. Anak-anak mulai berubah, oh saya sudah sekolah tingkat smp, saya sudah tingkat SMA. Jadi begitu," tambahnya

 

Teknologi Tidak Mengajarkan Moral

Baca Juga: PPIH Embarkasi Surabaya Jamin Kebutuhan Gizi Jemaah Haji: Siapkan Menu Khusus Lansia

Pentingnya belajar tatap muka bersama guru salah satunya adalah guru dapat mengawasi sekaligus membimbing moral siswa.

Celakanya, proses belajar mengajar  secara online hanya berkutat pada ilmu pengetahuan. Hal inilah yang menjadi perhatian bagi pegiat pendidikan.

"Pendidikan tidak hanya mengasah pengetahuan, ada perilaku, ada moralnya, ada etikanya dan itu tidak bisa diwakilkan oleh teknologi sehingga harus ada tatap muka," tegas Isa

Kendati begitu, model belajar di rumah kata Isa dapat melatih kemandirian siswa. Walau melatih kemandirian, ia berharap kemandirian tersebut juga dapat dipertanggungjawabkan oleh siswa.

"Cara mempertanggungjawabkannya seperti apa? Yaitu tadi, ada model konsultasi ke sekolah," ujarnya

Selama ini yang terjadi di lapangan, orang tua justru mengambil alih peran siswa dalam mengerjakan tugas dari sekolah. Alhasil, tanggung jawab siswa terhadap pendidikannya terabaikan.

"Akhirnya anak lari ke tempat-tempat publik. Entah ke warung, ke taman, dan disana bertemu ragam banyak orang. Dan itu berdampak banyak sekali terhadap psikologi. kalau dampak positif oke. Tapi kalau negatif seperti dia diajar merokok, kan anak-anak akhirnya kehilangan kesempatan yang baik, sehingga perkembangannya dia juga tidak akan baik pula" pungkasnya.

 

Stres Pengaruhi Pola Pikir Anak

Sementara itu, pakar psikologi Bukik Setiawan menjelaskan, tingkat stres terhadap anak akan mempengaruhi pola pikir dan psikologi anak.

Salah satu bagian otak yang menjadi pusat kembang dalam pola pikir dan psikologi anak adalah hippocampal (otak bagian depan). Apabila tingkat stres yang diberikan semakin banyak, maka kinerja hippocampal akan semakin menurun pula.

Baca Juga: Dispendik Surabaya Sediakan 365 Posko PPDB 2024

"Stres itu banyak terjadi karena anak selalu diberikan tugas terus-menerus dari sekolah," kata Bukik Setiawan

Pria juga juga adalah Ketua Yayasan Guru Belajar pun memberikan syarat belajar online ditengah pandemi guna mengantisipasi terjadinya stres pada anak.

Syarat pertama adalah pihak sekolah harus melakukan pembelajaran yang bermakna. Pelajaran yang bermakna adalah pembelajaran yang berhubungan dengan keseharian anak.

"Jadi bukan mempelajari sesuatu yang turun dari langit. Seringnya anak itu pelajari hal yang sebetulnya turun dari langit," ucapnya

Berikutnya adalah perlu ada komunikasi yang intens antara sekolah dan orangtua. Tujuannya adalah untuk menyesuaikan pembelajaran yang sesuai dengan jadwal orang tua. Karena seringkali dalam satu rumah tangga hanya ada 1 handphone yang selanjutnya dipergunakan bersama.

"Kalau pembelajaran online itu harus disepakati dengan orang tua (...) Kalau orang tua hanya punya hp 1 kan repot, orang tua berangkat kerja anaknya akhirnya tidak bisa belajar dong," tandasnya

"Terus terkait bentuk tugas, jadwal pengumpulan tugas, yang penting harus selalu komunikasi," tambahnya

Syarat terakhir yang menjadi syarat ketiga adalah keterlibatan orang tua. Keterlibatan orang tua yang dimaksud bukan hanya sekedar mendampingi anak, melainkan orang tua juga dibimbing terkait pelajaran yang diajarkan oleh sekolah kepada siswa.

"Karena tidak semua orang tua itu mampu (punya kompetensi) dalam mengajar dan mendampingi anaknya, jadi komunikasi antara sekolah dan orang tua ya fungsinya untuk itu. Melatih agar orang tua akhirnya mampu (mengajarkan anaknya)," ucapnya

Kepada sekolah-sekolah ia menghimbau untuk selalu menerapkan 3 syarat tersebut khususnya dalam proses belajar yang berbasis online seperti saat ini. Bila ketiga syarat tersebut dilakukan, niscaya tingkat stres anak akan berkurang dan perkembangan anak secara mental dan psikologi akan baik pula.

"Tapi kalau ada sekolah yang hanya mengejar capaian nilai dan akreditasi, saya rasa kalau masih seperti itu terus bisa buat anak stres, sudah gak ditemani guru suruh ngerjain soal sebanyak-banyaknya lagi," ucapnya mengakhiri perbincangan.sem 

Editor : Redaksi

BERITA TERBARU