Ketua KPK Firli, Temui Ketua DPD La Nyalla

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 14 Des 2021 20:44 WIB

Ketua KPK Firli, Temui Ketua DPD La Nyalla

i

Ketua KPK Firli bertemu La Nyalla,kemarin.

SURABAYAPAGI.COM, Jakarta - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, diam diam mulai bermain politik. Ia Selasa siang kemarin (14/12/2021) mendatangi Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. Firli menemui Ketua DPD LaNyalla Mahmud Mattalitti, yang sejak awal mengkritisi masalah ambang batas pencapresan atau presidential threshold agar diturunkan menjadi 0 persen.

La Nyalla didampingi sejumlah pimpinan DPD lainnya di ruang rapat lantai 8 Gedung Nusantara III. Sedang Firli, sendirian.

Baca Juga: Lolos Senator DPD RI Nawardi Raih 3,28 Juta Suara di Pemilu 2024

Dalam daftar agenda DPD, Firli dijadwalkan bertemu pimpinan DPD RI untuk membahas hal-hal terkini.

Disebutkan, Firli dan LaNyalla tampak berdiskusi akrab dan berfoto bersama sebelum jalannya rapat. Sejak minggu lalu, Ketua KPK Firli Bahuri mulai bicara di publik tentang ambang batas pencapresan atau presidential threshold agar diturunkan menjadi 0 persen.

 

 

 

Perlu Ditanya ke KPK

Anggota Komisi III DPR RI yang juga mantan Wakil Ketua KPK, Johan Budi Sapto Pribowo, turut merespons usul Ketua KPK.

"Pak Firli itu memberitahukan sistem itu secara menyeluruh, kalau pilkada gitu-gitu-lah. Kemudian kan dia menyinggung soal presidential threshold. Tapi kan konteksnya nggak cuma itu. Ya itu boleh-boleh saja," kata Johan Budi kepada wartawan, Selasa (14/12/2021).

Namun Johan Budi mengaku tidak mengetahui apakah usul presidential threshold jadi 0 persen didasari atas kajian komprehensif KPK atau tidak. Kajian yang dimaksud Johan Budi adalah tentang pemilu, yang di dalamnya terdapat soal presidential threshold.

"Nah, saya tidak tahu apakah semua yang diomongin, nggak cuma presidential threshold loh ya, apakah KPK sudah melakukan kajian apa nggak, saya nggak tahu. Kalau itu perlu ditanya ke pimpinan. Nah, kalau itu kajian sistem secara menyeluruh, di mana kajian itu salah satunya ada soal presidential threshold. Ini perlu ditanya bener apa nggak, apa sudah ada," terang Johan Budi.

Menurut Johan Budi, KPK memiliki program kajian sistem yang berkaitan dengan pencegahan korupsi. Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) itu menilai bagus jika KPK mengkaji komprehensif potensi korupsi akibat pemilu.

"Kalau namanya kajian, itu kan ada rekomendasi. Namanya rekomendasi itu basisnya harus dengan penelitian, ada kajian yang mendalam di KPK. Nah, kalau itu ada, bagus saja dia mengusulkan itu. Siapa yang menindaklanjuti itu? Ya Presiden sama DPR," sebutnya.

Lebih lanjut, menurut Johan Budi, pertanyaan mendasarnya adalah apakah KPK telah mengkaji komprehensif potensi korupsi akibat pemilu. Lalu, sebut dia, apa rekomendasi KPK berdasarkan kajian tersebut.

"Pertanyaannya yang mendasar, apakah itu KPK sudah melakukan kajian secara menyeluruh? Nggak cuma presidential threshold saja, tapi secara menyeluruh, yang kemudian hasil kajian itu sudah dibuat rekomendasi belum oleh KPK," paparnya.

"Nah, mengenai menyeluruh kajian ini akhirnya bisa mengurangi korupsi apa tidak, ya itu tunggu dulu, harus dilihat secara menyeluruh," sambung dia.

 

Baca Juga: PHRI Jatim Dorong Kolaborasi Lintas Sektor Pariwisata

 

 

Cegah Praktik Korupsi

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri angkat bicara soal pernyataannya terkait Presidential Thresold yang belakangan ramai dikritisi pejabat. Menurutnya, pernyataan itu bukan berarti dia masuk ke dalam ranah politik.

Firli menegaskan apa yang disampaikannya itu guna mencegah terjadinya praktik korupsi. Sebab, ambang batas ini kerap membuka peluang pemberian mahar dan menjadikan politik di Tanah Air berbiaya mahal.

"Pendapat saya terkait PT 0 persen adalah semata-mata untuk tujuan penanganan potensi dan pemberantasan korupsi yang maksimal karena itulah konsentrasi KPK," kata Firli dalam keterangan tertulisnya, Selasa, (14/12/2021).

"Bukan berarti saya memasuki ranah politik. Sekali lagi saya tegaskan bahwa saya tidak memasuki ranah kamar politik atau kamar kekuasaan yudikatif," imbuh eks Deputi Penindakan KPK ini.

Firli mengatakan keluhan tentang biaya politik yang mahal dan butuh modal besar ini bukan hal baru yang didengar KPK. Bahkan, dalam beberapa kali rapat koordinasi, komisi antirasuah kerap mendengar keluhan tersebut.

"KPK menyerap informasi dan keluhan langsung dari rumpun legislatif dan eksekutif di daerah yang mengeluhkan biaya pilkada yang mahal, sehingga membutuhkan modal besar. Modal besar untuk pilkada sangat berpotensi membuat seseorang melakukan tindak pidana korupsi, karena setelah menang akan ada misi balik modal," ungkapnya.

Baca Juga: Ini Catatan Kelam Persepakbolaan Nasional

 

 

 

Mahar Politik Hilang

Melihat kondisi itu, Firli berpandangan jika ambang batas atau Presidential Thresold ini kemudian dihapuskan akan membuat mahar politik kemudian menghilang dan biaya kampanye lebih murah. "Sehingga pejabat terpilih lebih leluasa bekerja baik ketimbang mikir korupsi untuk balik modal dan balas budi donatur," tegasnya.

"Jadi kenapa tidak PT ini 0 persen jika memang biaya politik hasrat korupsi yang membabi buta bagi seluruh pejabat politik, maka harus segera ditangani akar persoalannya. Salah satunya presidential threshold," imbuh Firli.

Sekali lagi, dia menegaskan pernyataan ini jangan sampai ditarik ke ranah politik. "Saya hanya ingin Indonesia bebas dan bersih dari praktik korupsi," ujarnya.

"Untuk membebaskannya, maka perlu peran segenap anak bangsa dan perlu orkestrasi nasional membangun budaya antikorupsi dalam upaya pemberantasan korupsi," pungkas Firli. n er, jk, 03

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU