Jokowi, 6 Menterinya Korupsi, Why?

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 12 Nov 2023 21:33 WIB

Jokowi, 6 Menterinya Korupsi, Why?

i

Raditya M Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Hebohnya kasus korupsi pada jabatan Menteri telah menyita perhatian publik. Wajar! sebab, seorang menteri adalah perpanjangan tangan membantu tugas Presiden.

Saat ini, Presiden Jokowi yang merupakan Presiden ke-7 Republik Indonesia, ternyata memiliki 6 Menteri dan satu Wakil Menteri terseret kasus korupsi.

Baca Juga: Jual-beli Opini WTP, BPK Minta Rp 40 M

Berbeda dengan jabatan selama dua periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY. Ayah AHY ini tercatat hanya memiliki 5 menteri yang tersandung kasus korupsi.

Bila AHY, dulu saat gabung dengan Koalisi Perubahan Anies Baswedan, berani bandingkan prestasi ayahnya soal infrastruktur dengan Jokowi, bisa jadi sekarang ia berani membandingkan kepemimpinan ayahnya dengan Jokowi.

Berhubung ia sudah bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju dan bukan lagi bakal cawapres, ia merubah gaya bicaranya, jadi politisi pendiam.

 

***

 

Menteri pertama yang ditahan KPK adalah Idrus Marham, kader Partai Golkar. Dia menjabat Mensos menggantikan Khofifah Indar Parawansa yang maju sebagai Gubernur Jawa Timur.

Menyusul Imam Nahrawi yang mantan Menteri Pemuda dan Olahraga. Kader PKB ini tersangka dalam kasus korupsi dana hibah KONI. Dia diputus bersalah dan diganjar hukuman selama 7 tahun penjara.

Lalu Edhy Prabowo, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan. Kader Gerindra ini ditetapkan sebagai tersangka kasus suap izin ekspor benih lobster

Setelah vonis ditetapkan, Edhy mengajukan banding di Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta. Pada November 2021, majelis hakim pengadilan tinggi memperberat hukuman Edhy menjadi pidana penjara 9 tahun dan dirinya diwajibkan membayar denda Rp 400 juta yang dapat diganti pidana kurungan selama 6 bulan. Majelis hakim tingkat banding juga menetapkan pidana pengganti senilai Rp 9,68 miliar.

Ada juga Menteri Sosial Juliari Batubara, kader PDIP. Juliari divonis bersalah menerima uang suap terkait paket bansos Covid-19 sekitar Rp34,4 miliar. Pada pengadilan tingkat pertama, Juliari divonis pidana penjara selama 12 tahun dengan denda Rp500 juta pada 2021.

Menyusul, Menkominfo Johnny G Plate. Kader NasDem ini didakwa ikut serta dengan beberapa pihak menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp8 triliun. Minggu lalu, Johnny G Plate divonis hukuman 15 tahun penjara.

Tak lama, Syahrul Yasin Limpo (SYL) menjadi tersangka dalam dugaan korupsi di Kementan. KPK telah mengungkap secara resmi status hukum kader Partai NasDem itu.

Terbaru Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej. Ia jadi tersangka dugaan suap dan gratifikasi.

Eddy adalah orang ketujuh dalam kabinet Jokowi yang berurusan dengan perkara pidana.

 

***

 

Kasus kasus menteri tersebut merupakan rekor dalam sejarah Indonesia, bahwa selama kepemimpinan Jokowi ada sebanyak 6 menteri dan 1 wakil menteri menjadi tersangka kasus korupsi.

Hal unik, Komisi antikorupsi menuduh SYL terlibat perdagangan jabatan dan beberapa kasus lain. Ada juga Dito Ariotedjo, yang belum setahun menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga, disebut-sebut dalam perkara dugaan makelar kasus.

Dampak dari terseretnya sejumlah menteri korupsi, indeks persepsi korupsi atau corruption perceptions index (CPI) Indonesia tercatat jeblok.

Baca Juga: Resiko Pejabat Bea Cukai Berkongsi

Data Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan bahwa CPI Indonesia tercatat berada di skor 34/100 pada 2022. Indeks tersebut turun 4 poin dari tahun sebelumnya yakni 38/100.

Ada Indikator komposit yang diluncurkan oleh Transparency International Indonesia (TII) itu juga menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ketujuh dari 11 negara Asean.

Artinya, persepsi terhadap korupsi di Indonesia lebih rendah dari negara-negara seperti Singapura, Malaysia, bahkan Timor Leste.

Menurut kriminolog, Donald R. Cressey, ada tiga faktor yang membuat seseorang melakukan korupsi, yaitu Pressure (tekanan), Opportunity (kesempatan), dan Rationalization (rasionalisasi).

Penyebab korupsi disampaikan Donald R Cressey dalam teori Fraud Tiangle.

Teori Segitiga Kecurangan ini melihat potensi kecurangan yang bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, termasuk lingkungan sekitar presiden .Menurut akal sehat saya dari tiga faktor yang membuat seseorang menteri tega melakukan korupsi, utamanya Opportunity .

Adanya kesempatan jadi pembantu presiden kelola Kementeriab membuat seseorang tergiur untuk korupsi. Ini terjadi akibat dari lemahnya sistem pengawasan yang pada akhirnya menjerumuskan pelaku melakukan korupsi.

Akal sehat saya menyarankan Jokowi memperbaiki sistem pengawasan agar menteri menteri tidak slumat, slumut dan terperosok.

Maklum, sebagai pejabat tinggi, terbuka peluang seorang menteri suka mengedepankan rasionalisasinyq atau pembenaran untuk melakukan korupsi. Rasionalisasi ini kadang dapat menipiskan rasa bersalah seorang pembantu presiden.

Sebagaimana yang diutarakan Cressey, korupsi terjadi kalau ada kesempatan melakukannya. Tak heran, jika sudah ada 6 menteri yang melakukan tindakan culas tersebut.

Ironisnya terbanyak kasus korupsi tersebut adalah pembengkakan anggaran (mark up) . Ini modus yang merupakan kegiatan pembiayaan yang tidak diinginkan dan melibatkan biaya yang tidak terduga.

Sebuah buku yang berjudul Other People’s Money: A Study in the Social Psychology of Embezzlement, memaparkan. Semua potensi kecurangan, penipuan, atau kebohongan mudah terjadi. Disarankan sebisa mungkin harus dicegah. Kalau dibiarkan, akan muncul potensi fraud atau kecurangan yang merugikan negara. Sebagai presiden, saran saya Jokowi mulai serius memperhatikan kinerja semua pembantunya, termasuk menganalisa kemungkinan terjadinya kecurangan menggunakan teori Fraud Triangle.

Baca Juga: Jurnalistik Investigasi Ungkap Kejahatan Tersembunyi untuk Kepentingan Umum

Ingat! Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sepanjang 2022 terdapat 303 kasus korupsi dengan modus mark up dan penyalahgunaan anggaran.

 

***

 

Pemerintahan Presiden Jokowi, dari aspek kepemimpinan, bisa mengundang respon dari akademisi. Apalagi politik. Terutama partai oposisi.

Dalam buku berjudul Leadership: Theory and Practice (2018), disebutkan kepemimpinan adalah proses di mana seseorang mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.

Pengertian ini menunjukkan bahwa kepemimpinan melibatkan interaksi antara pemimpin dan pengikutnya, di mana pemimpin bertanggung jawab untuk mengarahkan dan memotivasi pengikutnya menuju pencapaian tujuan bersama.

Sekilas, Jokowi bisa dianggap gagal dalam memilih anggota kabinet pada dua periode kabinetnya. Ini bisa dipengaruhi politik akomodatif terhadap pendukungnya, terutama dari latar belakang partai. Dan boleh disebut sebagai penyebab. Saya catat ke enam menteri itu kader parpol. Hanya satu akademisi.

Padahal, Jokowi di awal menjadi presiden menyatakan “tidak akan bagi-bagi kekuasaan”. Tapi nyatanya, ia cenderung mudah menerima begitu saja perwakilan partai untuk mengisi sejumlah kursi menteri—terutama pada pos yang dianggap “basah”. Terkesan, Jokowi, awalnya tidak memberi batasan ketat sebagai alat penyaringan calon menteri.

Kemunduran besar dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih di era Jokowi terkonfirmasi pada angka survei. Posisi Indonesia anjlok dalam Indeks Persepsi Korupsi 2022 yang dilansir Transparency International Indonesia. Dengan penurunan empat poin dari 38 menjadi 34, peringkat Indonesia terjun dari ke-96 ke ke-110 dari 180 negara yang disurvei. Tingkat korupsi politik di Indonesia, menurut penelitian yang sama, juga masih tinggi.

Koreksi terhadap kelemahan itu tampaknya sulit dilakukan dalam setahun sisa pemerintahan Jokowi saat ini. Halo pak Lurah, tetap tabah.([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU