Tentara Bayaran WNI di Ukraina, Bisa Propaganda Rusia

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 19 Mar 2024 20:27 WIB

Tentara Bayaran WNI di Ukraina, Bisa Propaganda Rusia

i

Raditya M Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Isu ada WNI yang terlibat menjadi tentara bayaran Ukraina, sampai Senin (18/3), masih belum jernih. Isu ini berawal dari klaim pemerintah Rusia.

Kementerian Pertahanan Rusia mengklaim 10 warga Indonesia menjadi tentara bayaran Ukraina sejak Februari 2022.

Baca Juga: Cari SIM Dibawah 17 Tahun, Benchmark Gibran

Informasi mengenai tentara bayaran ini dirilis oleh Kementerian Pertahanan Rusia, diteruskan informasinya lewat saluran akun X Kementerian Luar Negeri Rusia, Kamis (14/3). Informasi tersebut sempat pula diteruskan akun X resmi Kedutaan Besar Rusia untuk Indonesia pada Jumat (15/3). Namun informasi tersebut kemudian dihapus oleh akun X Kedubes Rusia pada hari yang sama.

Ternyata, klaim Rusia ini ditepis oleh pemerintah Indonesia.

Pihak Indonesia kini malah meminta klarifikasi dari Rusia.

"Perwakilan RI saat ini tengah melakukan penelusuran dan meminta informasi resmi mengenai hal ini," kata Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) Kementerian Luar Negeri RI Judha Nugraha dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Senin (18/3/2024).

Selain Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Moskow, KBRI Kyiv di Ukraina memonitor keterangan Rusia soal tentara bayaran WNI Indonesia itu.

KBRI Kyiv dan KBRI Moskow tidak pernah menerima informasi mengenai aktivitas WNI sebagai tentara bayaran.

"Kemlu serta KBRI Kyiv dan KBRI Moskow telah memonitor rilis Kementerian Pertahanan Rusia yang menyampaikan informasi adanya 10 WNI yg menjadi tentara bayaran, di mana 4 di antaranya meninggal dunia," kata Judha Nugraha.

 

***

 

Dilansir BBC, disebutkan sedikitnya 13.387 "tentara bayaran" telah bertolak ke Ukraina untuk bertempur demi Kyiv. Dari jumlah itu, sebanyak 5.962 di antara mereka dikonfirmasi telah tewas dibunuh.

Rusia mengeklaim Polandia merupakan negara dengan jumlah "tentara bayaran" terbesar, yaitu 2.960 orang. Lebih dari separuhnya, sekitar 1.497 orang, tewas dalam pertempuran.

Amerika Serikat adalah negara pengirim prajurit asing terbesar kedua, sekitar 1.113 orang. Setidaknya 491 orang di antara mereka telah tewas.

Menurut perkiraan militer Rusia, yang dikutip media Russia Today,

ada 10 warga negara Indonesia telah bergabung dengan militer Ukraina dan empat di antara mereka telah tewas 'dihabisi' Rusia.

Kemlu serta KBRI Kyiv dan KBRI Moskow telah memonitor rilis Kementerian Pertahanan Rusia yang menyampaikan informasi adanya 10 WNI yg menjadi tentara bayaran di mana 4 di antaranya meninggal dunia.

Hingga saat ini KBRI Kyiv dan KBRI Moskow tidak pernah menerima informasi mengenai aktivitas WNI sebagai tentara bayaran," kata Direktur Perlindungan WNI Kemlu RI Judha Nugraha kepada wartawan, Minggu (17/3/2024).

Sementara, juru bicara Kemlu RI Lalu Muhamad Iqbal menjelaskan setiap tentara bayaran tak ada kaitan dengan negara asalnya.

"Tentara bayaran itu tidak ada kaitan dengan negara asal karena dia bekerja untuk perusahaan yang membayar dia," kata Iqbal saat ditemui di Bandara Internasional Lombok, dilansir detikBali, Sabtu (16/3).

Menurut Iqbal, warga negara Indonesia memang cukup berpotensi menjadi tentara bayaran di beberapa negara. Namun, selama proses perang, tentara bayaran di sana sama sekali tidak mewakili pandangan dan posisi politik Indonesia.

Menurut Iqbal, tentara bayaran sudah menjadi hal lumrah di dunia internasional. Bahkan beberapa perusahaan, di antaranya di Prancis, Ukraina, dan Amerika, secara terang-terangan merekrut tentara bayaran untuk tambahan personel.

Iqbal menegaskan tentara bayaran itu bukan utusan negara asal.

"Tentara bayaran itu sudah jamak di dunia internasional. Jadi dia tidak diutus oleh negara asalnya," kata Iqbal.

 

***

 

Soal propaganda, literasi yang saya baca, Presiden Rusia Vladimir Putin, lihai. Putin bisa memainkan cara yang mirip dengan Perang Dunia 2.

Pendapat ini terlihat dari bagaimana orang nomor satu Rusia itu seringkali menyebut perangnya di Ukraina sebagai perlawanan melawan Nazisme.

Baca Juga: Sengketa Pilpres 2024 Berakhir dengan Dissenting Opinion

"Dalam hal narasi, dalam hal apa yang disebut Rusia sebagai memori budaya di sini, kami benar-benar melihat penggabungan retorika Perang Dunia 2 dan Perang Dingin," terang dosen senior dalam komunikasi politik di Universitas Nottingham Trent, Colin Alexander, kepada Express, Rabu (12/4/2023).

 

***

 

Sejarah mencatat, pemerintah di seluruh dunia dalam berbagai kondisi , kadang sangat bergantung pada propaganda.

Ini untuk membujuk masyarakat tanpa memedulikan kebenaran nilai atau fakta. Bisa dikatakan propaganda sama tuanya dengan sejarah pemerintahan.

Abad ke-21, pemerintahan di dunia mulai mengenal propaganda sebagai Fake News atau berita palsu.

Istilah ini populer selama Pilpres Amerika tahun 2016. Indonesia? Tak berbeda jauh.

Saat itu ada Pilkada DKI Jakarta yang kemudian memuncak di Pilpres 2019. Bangsa Indonesua terpaksa berjibaku dengan banjir fake news yang imbasnya masih terasa hingga saat ini.

Fake News adalah masalah terbesar bagi esensi jurnalisme yakni verifikasi informasi. Mencari dan menemukan sejumlah saksi, menyingkap sebanyak mungkin fakta. Hal ini yang membedakan antara jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.

Konflik Ukraina, misalnya. Konflik yang meletup sejak aneksasi wilayah Krimea pada 2014 hingga upaya invasi ke Kiev pada 2022 tidak lepas dari fake news yang disebarkan Rusia tentang upaya melindungi orang-orang Ukraina yang merupakan penutur bahasa Rusia dari kelompok fasis serupa NAZI Jerman di masa Adolf Hitler.

Dicatat, sebuah propaganda meski dunia tahu Rusia yang dipimpin Presiden Vladimir Putin secara sengaja melanggar Memorandum Budapes 1994 mengenai kedaulatan dan keutuhan wilayah Ukraina yang telah ditandatangani Rusia.

Di kawasan negara-negara Barat, infowars atau perang informasi berhasil secara efektif menangkis penyebaran berita propaganda.

Dan fake news atau berita palsu berasal dari Rusia.

Keberhasilan ini tidak terlihat di kawasan dunia lainnya. Indonesia, misalnya, sebagaimana dikemukakan oleh Dudy Rudianto dari Evello, platform pemantauan big data di Jakarta.

Baca Juga: Dua Heli Militer Malaysia Tabrakan, 10 Kru Tewas

Kepada VOA Maret lalu ia mengatakan bahwa sebagian besar netizen Indonesia, di TikTok 95 persen, di Instagram 73 persen, menyatakan dukungan terhadap Rusia.

Untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang propaganda Rusia di media sosial ini, VOA menghubungi Ivana Stradner, seorang penasihat di Foundation for Defense of Democracies (FDD) dan peneliti di American Enterprise Institute.

Sebagian besar netizen di Indonesia mendukung Rusia dalam konflik di Ukraina.

Menurut Stradner, Rusia sudah memanfaatkan informasi sebagai senjata untuk mempengaruhi pemikiran dan sikap orang selama puluhan tahun.

"Rusia selalu memanfaatkan, mereka tidak perlu menciptakan sentimen anti-Barat lagi. Yang mereka lakukan adalah memanfaatkan polarisasi yang sudah terbentuk di dalam sebuah negara, dan mereka amplifikasi hal itu baik di spektrum ekstrim kanan maupun kiri, dan mereka manipulasikan sentimen-sentimen itu, serta menggunakannya sebagai senjata. Jadi saya sama sekali tidak kaget dengan apa yang terjadi di Indonesia," tukasnya.

Untuk tujuan ini, Rusia menciptakan lembaga-lembaga informasi yang khusus diperuntukkan melancarkan inforwars.

Untuk memahami situasi di Indonesia, VOA menghubungi Firman Kurniawan, pengajar program pasca-sarjana ilmu komunikasi FISIP UI.

Dia berpendapat ada dua kondisi yang membuat propaganda Rusia di Indonesia berhasil. Pertama adalah sikap netral atau tidak berpihak dari pemerintah Indonesia dan ini ditangkap oleh masyarakat. Kedua, krisis Ukraina oleh masyarakat dipersepsikan sebagai konflik Rusia dan Amerika, bukan Rusia dan Ukraina.

"Amerika yang sering dianggap sering menekan kelompok Islam yang menjadi mayoritas dari masyarakat Indonesia itu dianggap common enemy (musuh bersama) sehingga di dalam hal ini, siapapun musuhnya Amerika adalah pahlawan bagi sekelompok orang. Hal tersebut menjadi mainstreaming (menjadi pola pikir yang umum) cara berpikirnya masyarakat di media sosial, akhirnya mereka tertular bahwa Rusialah yang harus kita pegang sebagai pahlawan," ujar Firman.

Ditambahkannya, bermodalkan kedua kondisi tadi, Rusia tinggal menuai hasilnya untuk membentuk opini pro-Rusia di Indonesia.

Ditambahkannya, bermodalkan kedua kondisi tadi, Rusia tinggal menuai hasilnya untuk membentuk opini pro-Rusia di Indonesia.

Juga kurangnya pemahaman para netizen dengan situasi geo-politik seputar konflik ini ikut menyumbang pada ketimpangan informasi di dunia maya Indonesia.

"Pemahaman lebih dari 70% masyarakat Indonesia tentang apa yang sebenarnya terjadi di Rusia dan Ukraina, mereka itu pasti tidak tahu persis. Jadi apa yang menyebabkan invasi militer Rusia ke Ukraina, masyarakat Indonesia saya yakin sebagian besar tidak memahami secara detail alasan maupun sejarahnya," ulasnya.

Dengan masih simpang siurnya isu 10 tentara bayaran dari Indonesia di Ukrania, menurut akal sehat saya ada benarnya pendapat Firman Kurniawan dan Ivana Stradner, ini propaganda Rusia. Maklum propadanda bertujuan meyakinkan orang agar percaya dengan info yang dibuat. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU