Rekor: Jalani Tradisi Thudong, 32 Biksu Jalan Kaki dari Thailand ke Candi Borobudur

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 14 Mei 2023 13:44 WIB

Rekor: Jalani Tradisi Thudong, 32 Biksu Jalan Kaki dari Thailand ke Candi Borobudur

i

Momen 32 biksu menjalankan tradisi Thudong dengan berjalan kaki dari Thailand ke Candi Borobudur. SP/ SBY

SURABAYAPAGI.com, Surabaya - Menjelang hari Waisak pada 4 Juni 2023 mendatang, sebanyak 32 biksu menjalankan tradisi Thudong dengan berjalan kaki dari Thailand ke Candi Borobudur. Peristiwa tersebut pun memecahkan rekor perayaan terbesar dan perjalanan terpanjang.

Rencananya pada Selasa (30/05/2023) mendatang, rombongan biksu ini telah sampai di Kota Magelang dan pada Rabu (31/05/2023) sudah memasuki kawasan Borobudur.

Baca Juga: Kunjungi Mahavihara, Bupati Ikfina Ucapkan Selamat Waisak untuk Pemeluk Ajaran Buddha

Para biksu yang berjalan kaki ini dari Thailand terdiri dari 27 biksu asal Thailand, empat biksu dari Malaysia, dan satu biksu dari Indonesia. Tradisi thudong ini diawali dari Nakhon Si Thammarat, Thailand pada 23 Maret lalu dan finish di Candi Borobudur saat Waisak.

"Kalau yang perjalanan dari Thailand tanggal 23 Maret 2023. Kemudian dari sana jalan akan sampai Borobudur. Rencana mereka target ke Borobudur, perayaan Waisak, jadi targetnya begitu," kata Bhikkhu Dhammavuddho, dikutip Minggu (14/05/2023).

Diketahui, jalan kaki yang dilakukan para biksu atau bhante di sepanjang puluhan ribu kilometer itu merupakan perjalanan religi. Mereka berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain untuk membangun rasa persaudaraan dan perdamaian umat manusia di dunia.

Bhikkhu Dhammavuddho menjelaskan sebelum sampai di Candi Borobudur, rombongan biksu ini akan singgah di Vihara Budhi Asih (Jatibarang), Yayasan Setia Bakti Losari (Losari), Kelenteng Tjeng Gie Bio Ulujami (Pemalang).

Kemudian, kediaman Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya Pekalongan, Vihara Adi Dharma (Semarang), Vihara Buddha Jayanti Wungkal Kasap (Semarang), Kelenteng Hok Tik Bio (Ambarawa), dan Kelenteng Liong Hok Bio (Magelang).

Dilansir dari unggahan akun Instagram Young Buddhist Association (YBA) of Indonesia, para biksu itu akan melewati empat negara, yakni Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.

Perjalanan para biksu ini menempuh kapal dari Singapura ke Batam, kemudian dilanjut dari Batam ke Jakarta dengan pesawat. Lalu dari Jakarta ke Kota Magelang ditempuh dengan jalan kaki.

"Jadi, sehari cuman sekali makan, melatih kesabaran dengan bayangkan capek, sehari bisa berjalan minimal 30 km, 25-30 km. Kemudian mereka makan cuman satu kali dan panas, tutupnya pakai payung dan tinggal seadanya," terangnya.

Baca Juga: Peringati Puncak Hari Raya Waisak, 2.567 Lampion Hiasi Langit Borobudur Nanti Malam

Perjalanan para biksu ini merupakan salah satu praktik dalam ajaran Buddha Gautama. "Zaman Sang Buddha dulu nggak ada vihara. Zaman dulu, namanya pertapa mereka tinggal di tiga tempat, dalam ajaran disebutkan tiga tempat yakni, pertama di bawah pohon, kedua di tempat orang meninggal (tempat pembakaran mayat atau makam) dan ketiga, ruangan yang kosong," terang dia.

"Ruangan yang kosong seperti gua, tempat yang kita bisa berteduh. Sekarang, tempat yang kosong digantikan vihara, jadi ini tiga tempat para biksu ini bisa tinggal di situ," sambungnya.

Apa itu Tradisi Thudong?

Melansir situs Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI), thudong adalah perjalanan ritual para bhante yang dilakukan dengan berjalan kaki ribuan kilometer. Untuk diketahui, bhante adalah nama panggilan bagi seorang biksu.

Tradisi thudong merupakan ritual keagamaan bagi umat Buddha yang dilakukan dengan berjalan kaki atau dianggap juga sebagai ritual perjalanan spiritual. Seperti yang dilakukan oleh para bhante yang berjalan kaki dari Bangkok Thailand menuju Candi Borobudur.

Tradisi thudong tersebut tetap dilestarikan hanya dengan penyesuaian. Jika dulu para biksu keliling dari satu hutan atau desa, kini para biksu ini singgah di vihara.

Baca Juga: Perayaan Waisak di Vihara Buddhayana Darmawira Centre Berjalan Khidmat

"Di zaman modern sekarang, tradisi ini tetap dilestarikan, tetapi karena vihara sudah ada, semua sudah ada, jadi digeser menjadi satu rangkaian perjalanan misalnya dalam rangka Waisak. Ke tempat-tempat suci, sekarang masih ada di Thailand juga masih sering dilaksanakan, di India dan kemudian yang pertama di Indonesia yang saat ini," kata Bhikkhu Dhammavuddho, dikutip Minggu (14/05/2023).

Menurutnya, pengawalan maupun pengamanan para biksu ini berasal dari kalangan non-buddhis. Hal ini sebagai bentuk toleransi di Indonesia.

"Teman-teman dari pengaman internal dari panitia ini bukan dari umat Buddha. Jadi hebatnya yang jalan biksu, tapi yang ngawal ini adalah teman-teman non-buddhis, dari agama yang lain, kita bilang Muslim, ada juga dari Kristen," katanya.

Bhikkhu Dhammavuddho mengatakan pihaknya juga mengampanyekan toleransi yang ada di Indonesia. Hal ini dilakukan agar dunia mengetahuinya.

"Jadi kita sengaja viralkan biar dunia tahu bahwa Indonesia punya toleransi yang sangat baik. Kita tahu bahwa di Indonesia dengan muslim terbesar di dunia, tetapi negara Indonesia bukan seperti negara muslim di tempat yang lain. Bahwa Indonesia toleransi baik dan bisa memberikan contoh dan teladan bagi negara-negara lain bahwa di Indonesia seperti ini," ujarnya. dsy/dc/rpb/trb

Editor : Desy Ayu

BERITA TERBARU