Rabu Pon Bagi Jokowi dan Orang Muslim

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 26 Mar 2024 20:17 WIB

Rabu Pon Bagi Jokowi dan Orang Muslim

i

Raditya M Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Judul berita utama kita hari Selasa (26/3); "Sidang Perdana Sengketa Pemilu, Rabu Pon".

Head line ini karena selama kepemiminan Jokowi, hari "Rabu pon" seolah sakral. Ada yang mengkaitkan dengan weton kelahiran Jokowi, Rabu pon, 21 Juni 1961.

Baca Juga: Politisi Jalin Politik Silaturahmi

Pakar budaya Jawa Dr Dhoni Zustiyantoro, menyebut masyarakat Jawa mengenal kalender Masehi dan kalender Jawa.

Pada tahun 1633, Sultan Agung memadukan kalender Saka bergaya India dengan kalender Hijriah.

Maka siklus harian yang masih dipakai sampai hari ini adalah Saptawara yang sama dengan siklus tujuh hari (Senin-Minggu) di samping penanggalan Kalender Jawa yang terdiri dari pancawara atau siklus lima hari.

Pancawara terdiri dari Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.

Kedua kalender ini dianggap penting oleh masyarakat Jawa, sehingga dibaca secara bersamaan untuk mengetahui nasib seseorang.

Dan setiap hari dalam kedua kalender memiliki neptu, yang merupakan nilai atau bobot berdasarkan Primbon Jawa.

Ada kepercayaan, neptu seseorang ditentukan dengan menjumlahkan bobot hari menurut kalender Masehi dan bobot kalender Pasaran.

Misalnya, jika Anda lahir pada hari Rabu tanggal 26 Juli — yang minggu ini bertepatan dengan Pon dalam kalender Pasaran — neptu Anda adalah 7 + 7 = 14.

Dihitung jumlah baik.

Di kalangan orang jawa, ada sekitar delapan variasi neptu "baik" dan "buruk".

Menurut peneliti budaya Jawa dan dosen Universitas Negeri Semarang Dr Dhoni Zustiyantoro, dalam satu variasi, neptu yang "baik" atau "beruntung" adalah 5, 14, 23, dan 32. Sementara itu, neptu yang dianggap "kurang beruntung" adalah 4, 13, 22, dan 31.

Dhoni mengatakan Rabu Pon secara khusus dianggap sebagai "hari yang baik".

"Sekalipun semua weton itu baik, tidak ada hari yang buruk, tetapi bagi masyarakat Jawa, hari lahir Rebu Pon itu lebih kurang diyakini memiliki beberapa keunggulan otak yang khas," katanya.

 

***

 

Dhoni menambahkan bahwa budaya Jawa memiliki tradisi panjang dalam membaca dan menafsirkan tanda dan kalender, atau "ngelmu titen."

"Masyarakat Jawa selama ratusan tahun mengamati perilaku dan watak manusia dalam kelahiran tertentu," tambah Dhoni.

"Mereka mengaitkannya dengan peristiwa dan fenomena alam atau semesta."

Dikutip dari Australian Broadcasting Corporation www.abc.net.au, 25 Jul 2023, tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Joanes Joko mengatakan, keputusan Jokowi bisa jadi merupakan strategi politik, tetapi ia menerangkan kemungkinan lain mengapa Rabu Pon dipilih untuk mengumumkan keputusan besar.?

"Memang Bapak Presiden kan kalau secara kelahiran wetonnya kan hari Rabu Pon. Mungkin beliau juga meyakini bahwa hari Rabu itu hari yang mudah untuk dijadikan satu tahap awal untuk melangkah terhadap sesuatu untuk dicapai," jelasnya.

 

***

 

Lalu, bagaimana kaitannya antara weton dengan hukum ajaran islam?.

Hukum islam, memberi contoh terhadap larangan perkawinan. Intinya, weton boleh dilakukan asalkan tidak ada kaitannya dengan kemusyrikan.

Literasi yang saya baca, dalam hukum islam menurut al-Qur’an dan hadist nabi Muhamad SAW beserta kaidah fiqihnya tidak mempermasalahkan larangan nikah karena weton .

Nah, masyarakat Jawa yang merupakan satu dari sekian kelompok masyarakat di Nusantara, ada yang sangat memegang ajaran tradisi leluhur.

Tradisi ini langgeng hingga saat ini dan tertanam kuat dalam benak mereka. Upaya ini berlangsung turun temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Salah satu tradisi yang dipegang kuat tersebut adalah berkenaan dengan pernikahan. Masyarakat Jawa memiliki konsep yang disebut dengan weton. Konsep ini pada intinya menjadi peneropong masa depan sebuah hubungan pernikahan berdasar dengan tanggal dan bulan dilahirkannya kedua calon mempelai.

Permasalahan sering muncul ketika pihak orang tua atau wali percaya dengan konsep weton dan menggagalkan rencana pernikahan putra atau putrinya dengan alasan ketidakcocokan hitungan weton.

Ini karena, mereka khawatir jika diteruskan akan berdampak tidak baik bagi hubungan pernikahannya.

Lantas bagaimana sebenarnya Islam memandang masalah weton?

Pada dasarnya, weton atau neptu merupakan angka perhitungan pada hari, bulan dan tahun Jawa.

Baca Juga: Jokowi vs Mega, Prabowo vs Mega = Kekuasaan

Weton biasanya digunakan sebagai dasar semua perhitungan Jawa, misalnya: digunakan dalam perhitungan hari baik pernikahan, membangun rumah, pindah rumah (boyongan : Jawa), dan mencari hari baik pada awal kerja.

Konon, masyarakat Jawa misalnya, ada kitab yang sangat boleh jadi lebih sering dibaca ketimbang al-Quran, yakni kitab Primbon.

Misalnya, karakter orang bisa dilihat dari bibir (www.primbon.com pada pembahasan tentang tanda di tubuh). Bila bentuk bibirnya agak lebar, memiliki kepribadian pandai mengatur uang, sabar, dan agak berani. Bila bentuk bibirnya agak kecil, memiliki kepribadian suka berterus terang, berhati kecil dan sering menganggap dirinya tidak bahagia. Bila bentuk bibirnya agak besar dan terbuka (menganga), memiliki kepribadian suka mementingkan diri sendiri namun rela berkorban untuk orang yang disukai. Bila bentuk bibirnya agak tipis, memiliki kepribadian cepat terpengaruh, tidak mempunyai prinsip. Bila bentuk bibirnya agak dower, memiliki kepribadian selalu mementingkan diri sendiri, tidak mau mengalah. Bila bentuk bibirnya agak kecil dan agak sempit, memiliki kepribadian selalu bimbang dan tidak bisa mengambil keputusan dengan baik.

Apakah benar semua itu? Walahualam .

 

***

 

Menurut eyang buyut saya yang dari Muntilan Magelang, pada kasus yang beredar di masyarakat, weton tidak dapat dihukumi sendiri. Ada faktor lain seperti halnya keyakinan pengguna weton yang terlibat sehingga memberikan konsekuensi yang berbeda.

Secara hukum asal, meyakini adanya pengaruh dari weton dapat berdampak pada ketidakharmonisan rumah tangga.

Bagi eyang buyut kakung saya yang lahir di Pamekasan, hitungan weton dan pekerjaan, haram, sebab itu merusak akidah seorang Muslim.

Ini artinya kata eyang seolah ada entitas lain selain Allah yang dapat memberikan pengaruh.

 

***

 

Dalam penelusuran di beberapa buku sejarah dan kebudayaan Jawa maupun google , saya tidak menemukan rujukan otoritatif terkait awal mula ilmu weton dan hari baik. Makanya ragu hitungan weton itu mitos atau suatu kepercayaan semata.

Karenanya ada peneliti yang menulis apabila ilmu weton ini dulunya dibuat atas dasar riset maka ilmu weton termasuk dalam ilmu yang mubah, sebagaimana disiplin ilmu lain yang berbasis riset, seperti ilmu astronomi, kedokteran, prakiraan cuaca dan sebagainya.

Tapi apabila weton didasarkan atas pendapat seseorang, tanpa didasari riset, maka tak bisa dipercaya.

Maka itu, pada kasus yang beredar di masyarakat, weton tidak dapat dihukumi sendiri. Ada faktor lain seperti halnya keyakinan pengguna weton yang terlibat sehingga memberikan konsekuensi yang berbeda.

Baca Juga: Dinyatakan oleh Ketua Dewan Kehormatan PDIP, Sudah Bukan Kader PDIP Lagi, Jokowi tak Kaget

Secara hukum asal, meyakini adanya pengaruh dari weton yang dapat berdampak pada ketidakharmonisan rumah tangga adalah haram sebab itu merusak akidah seorang Muslim.

Seperti halnya keterkaitan implikasi obat dan orang sakit yang mengonsumsinya. Apabila orang tersebut meyakini bahwa obatlah yang benar-benar memberi kesembuhan maka keyakinan seperti ini juga tidak dapat dibenarkan.

Dalam konteks hukum kebiasaan, boleh jadi ramalan weton muncul dari kebiasaan yang berulang-ulang dan terbukti. Sehingga keterkaitan nasib pernikahan dengan bulan atau tahun kelahiran calon mempelai tampak begitu erat.

Pada posisi ini, kata eyang dari Muntilan, sah mempercayai ramalan weton sebagai suatu hal terulang, seperti mempercayai obat yang memberi implikasi kesembuhan bagi orang yang mengonsumsinya. Hanya saja, perlu diingat bahwa keterkaitan itu tidak bersifat mutlak. Singkat kata, ramalan weton dan pengaruh obat itu konon omong kosong belaka.

Akal sehat saya bilang mempercayai weton dari sisi "disiplin ilmu budaya Jawa" belum bisa dijadikan acuan, benar atau salah.

Ini kata beberapa dalang wayang kulit bergantung atas niat maupun keyakinan tiap individu.

Konon keyakinan pengguna weton bisa memberikan konsekuensi yang berbeda.

Dalam konteks hukum kebiasaan, boleh jadi ramalan weton muncul dari kebiasaan yang berulang-ulang dan terbukti.

Pada posisi ini, ada orang Jawa yang sah mempercayai ramalan weton sebagai suatu hal terulang, seperti mempercayai obat yang memberi implikasi kesembuhan bagi orang yang mengonsumsinya.

Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat.

Dari keterangan di atas, akal sehat saya berpendapat, hubungan sebab akibat antara weton dan nasib orang yang mempercayainya sangat individual.

Apabila pengguna weton meyakini bahwa tidak ada yang dapat memberi pengaruh selain Allah. Sedangkan yang memberi pengaruh tetap pada Allah, maka mubah. Apabila itu berdasarkan kepastian weton, maka itu haram.

Primbon, kata eyang saya adalah ilmu ramal-meramal yang didasarkan pada perhitungan weton. Biasanya, primbon digunakan oleh orang Jawa untuk memprediksi kecocokan dengan jodoh dan juga penentuan hari baik bekerja.

Identik dengan ramalan nasib, bagaimana hukum percaya primbon menurut Islam? Apakah diperbolehkan atau dianggap syirik?

Sebagai salah satu warisan leluhur, primbon masih banyak dipercaya untuk memprediksi kejadian di masa depan. Pak Jokowi, insya Allah tahu, sebab ia seperti "mensaklarkan Rabu Pon".

Bagaimana Islam memandang primbon yang dikenal erat sebagai ilmu ramal-meramal ini?

Dilansir Suara Aisyiyah, seorang muslim sebaiknya tidak perlu mempercayai atau menggunakan buku primbon. Sebaiknya, disarankan tingkatkan keimanan kepada Allah SWT dengan rajin beribadah (baik wajib maupun sunah), berdoa, dan memohon diberikan nasib yang baik.

Apakah penetapan hari pencoblosan Rabu Pon dan sidang pertama gugatan sengketa pemilu sebuah skenario ? Ataukah hanya bersifat kebetulan belaka? Biarkan waktu yang menjawab. Kan begitu ya Pak Jokowi. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU