Peradi Janji Rangkul Pengacara se-Indonesia, Termasuk Pokrol, Kemajuan

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 08 Des 2024 20:35 WIB

Peradi Janji Rangkul Pengacara se-Indonesia, Termasuk Pokrol, Kemajuan

i

Raditya M Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) di Jimbaran, Bali pekan lalu mendesak pencabutan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 73 Tahun 2015.

Isi SEMA itu membolehkan pengadilan tinggi menyumpah calon-calon advokat - pengacara yang diajukan di luar Peradi.

Baca Juga: Menteri Kelautan Mengeluhkan Aksi TNI-AL, Bisa Apa…..

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPN) Peradi, Otto Hasibuan mengatakan Sema 73/2015 itu dirasakan sangat bertentangan dengan Undang-undang advokat di Indonesia. Hal itu jadi salah satu pembahasan hingga diputuskan untuk diusulkan dalam rakernas tersebut.

Menurutnya keberadaan SEMA itu tak menjamin kualitas advokat di RI sebagaimana diatur dalam undang-undang dan tujuan organisasi.

"Dengan adanya surat Mahkamah Agung tersebut maka telah mendegradasi kualitas advokat Indonesia. Sehingga, dirasakan betapa buruknya sekarang kualitas advokat-advokat yang baru dilakukan pelantikan-pelantikan, karena tidak melalui prosedur yang semestinya," ujar Otto saat konferensi pers di penutupan Rakernas Peradi, di Jimbaran, Kabupaten Badung, Bali, Jumat (6/12) malam.

Kualitas advokat? Apa yang dimaksud pokrol?

"Bahkan, diduga tidak melakukan pendidikan sebagaimana semestinya, tidak melakukan magang sebagaimana mestinya. Tapi tiba-tiba bisa menjadi seorang advokat, sehingga rakernas memutuskan untuk meminta kepada Mahkamah Agung untuk bisa mencabut surat tersebut," lanjutnya Otto.

Apabila SEMA itu kemudian jadi dicabut MA, Otto mengatakan organisasinya akan merangkul para advokat yang sudah terburu disumpah namun bukan bagian dari Peradi.

Rakernas Peradi, juga memutuskan advokat-advokat di luar organsiasi  Peradi dan sudah disumpah oleh pengadilan tinggi bisa bergabung menjadi anggotanya.

Dan naninya di Indonesia hanya ada satu wadah advokat yang diberikan kewenangan oleh Undang-undang.

"Maka kita mengambil keputusan yang sangat penting di rakernas, memberikan usulan kepada DPN untuk dapat menerima advokat-advokat yang sudah disumpah oleh pengadilan tinggi di luar Peradi akan diterima menjadi anggota Peradi dengan semangat tercapainya single bar," ujar dia yang juga Wakil Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan itu.

Para advokat non-Peradi yang sudah disumpah pengadilan sebelumnya akan diterima di Peradi tanpa ikut tes lagi seperti aturan organisasi bagi calon anggota. Ini kemajuan bagi semua pengacara se- Indonesia di era Peradi dipimpin Otto Hasibuan.

 

***

 

Catatan jurnalistik saya, ada sejarah organisasi advokat di Indonesia yang sejak awal dipenuhi drama dan polemik.

Salah satu buktinya, pasca Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) terpecah di Makasar pada 27 Maret 2015, disusul terbitnya Surat Keputusan Mahkamah Agung (SK MA) No. 73/KMA/HK.01/2015 tanggal 25 September 2015 tentang Penyumpahan Advokat. SEMA ini berdampak pada munculnya organisasi advokat (OA) baru.

Ini karena dengan SEMA itu, Mahkamah Agung menerima semua organisasi yang menyatakan diri sebagai organisasi advokat untuk mengajukan pengambilan sumpah advokat.

Awal drama konflik, terjadi pada tahun 1995. Saat itu, Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) mengalami perpecahan setelah musyawarah nasional kedua. Sebagian anggota Ikadin keluar dan membentuk Asosiasi Advokat Indonesia (AAI).

Kemudian pada tahun 2015, Musyawarah Nasional II Peradi di Makassar berujung pada perpecahan pengurus menjadi tiga kubu.

Lalu tahun 2020, Ketiga kubu Peradi yang terpecah pada tahun 2015 sempat bersepakat untuk bersatu pada 25 Februari 2020. Namun, kesepakatan tersebut belum terwujud hingga saat ini.

Misalnya, tidak pernah ada jawaban pasti untuk pertanyaan berapa jumlah organisasi advokat di Indonesia. Semarak pendirian organisasi advokat baru atau perpecahan satu organisasi advokat menjadi dua bahkan tiga masih lumrah di Indonesia. Konflik internal organisasi advokat bisa dibilang sudah menjadi tradisi.

Bahkan lahirnya UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) tidak berhasil mengubah tradisi itu. Mengapa begitu?

Dikutip dari situs hukumonline, seorang advokat senior tercatat pernah memberi deskripsi soal organisasi advokat di Indonesia: Suatu organisasi yang hidup dari kongres ke kongres, namun tidak ada apa pun di antara kongres tersebut. Pernyataan ini terungkap dalam laporan riset Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) berjudul Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, Studi tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Benarkah pernyataan itu sesuai fakta?

Laporan riset PSHK sebenarnya terbit dua dekade. Namun, hasil pengamatan Hukumonline atas dunia profesi hukum Indonesia menyimpulkan isinya masih relevan. Tidak banyak suasana yang berubah sejak dua puluh tahun lalu hingga sekarang. Tentu saja bukan tidak ada perubahan. Hanya saja, gambaran besarnya masih sama.

Misalnya, tidak pernah ada jawaban pasti untuk pertanyaan berapa jumlah organisasi advokat di Indonesia. Semarak pendirian organisasi advokat baru atau perpecahan satu organisasi advokat menjadi dua bahkan tiga masih lumrah di Indonesia.

Tampaknya, konflik internal organisasi advokat bisa dibilang sudah menjadi tradisi.

Cerita soal organisasi advokat mungkin harus dimulai dari asal-usul profesi advokat di Indonesia.

Peneliti asal Amerika Serikat, Daniel Saul Lev (Dan Lev) mencatat semua advokat di tanah Indonesia sampai pertengahan tahun 1920-an adalah orang Belanda.

“Advokat Indonesia yang pertama adalah Mr.Besar Martokoesoemo, yang juga membantu advokat Indonesia lainnya untuk memulai karier sebagai advokat,” kata Dan Lev dalam bukunya berjudul Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan.  

Mr. Besar lahir di Brebes tahun 1893 dengan status sebagai anak Jaksa. Ia masuk Rechtsschool tahun 1909. Pada tahun 1920 ia berangkat kuliah ke Leiden, dengan biaya mandiri untuk meraih gelar Meester in de Rechten/Mr.

Mr.Besar berangkat bersama 12 lulusan Rechtsschool angkatan pertama yang melanjutkan studi hukum ke Leiden. Lulus dalam waktu tiga tahun, ia kembali pada 1923 lalu membuka kantornya berlokasi di Tegal, Jawa Tengah.

Kantor ini berkembang hingga memiliki cabang di Semarang. Dan Lev menilai Mr.Besar, telah berhasil dalam merintis karier profesi advokat bagi kalangan orang Indonesia. Ia memantapkan jalan sejumlah rekannya di Leiden ikut berpraktik advokat antara lain Sartono, Sastro Mulyono, Suyudi, dan Ali Sastro Amidjojo.

Baca Juga: Menkes Bikin Detak Jantung Peserta BPJS Berdebar

Advokat Indonesia generasi awal yang juga penting disebut adalah Mr.Iskaq Tjokroadisurjo. Mr.Iskaq lahir tahun 1896, tercatat sebagai advokat Indonesia yang gesit merintis cabang di berbagai kota melampaui Mr.Besar. Ia adalah pendiri kantor advokat Indonesia pertama di Jakarta, lalu melakukan ekspansi mendirikan kantor-kantor di Bandung, Surabaya, Makassar, dan Manado.

Dan Lev mengatakan kantor-kantor hukum Mr.Besar dan Mr.Iskaq, adalah yang paling besar kala itu. Namun, jumlah advokat yang bekerja di sana tidak lebih dari 6 hingga 7 orang.

Sejarah mencatat, para advokat Indonesia ini tidak bisa diterima membaur dengan kalangan advokat Belanda yang sudah lama ada. “Banyak advokat Belanda menganggap mereka sebagai ancaman dalam persaingan,” kata Dan Lev.

 

***

 

Sebuah dokumen sejarah bahkan menunjukkan ada permusuhan tersembunyi. Terungkap surat menyurat di kalangan advokat Belanda agar tidak bekerja sama, apalagi memberi pekerjaan pada advokat Indonesia. Diskriminasi ini tidak hanya dialami advokat Indonesia, tapi juga advokat keturunan Cina saat itu. Saat itu advokat Indonesia dan keturunan Cina tersingkir dari komunitas organisasi advokat yang ada.

Laporan riset PSHK menyebut organisasi advokat sebenarnya sudah ada di kota-kota besar sebelum kehadiran Mr.Besar. Tentu saja keanggotaannya hanya untuk advokat Belanda. Organisasi itu dikenal dengan nama Balie van Advocaten. Justru, pokrol Indonesia yang lebih dulu berhimpun membentuk organisasi tahun 1927 dengan nama Persatuan Pengacara Indonesia/PERPI di Surabaya.

Perlu dicatat bahwa pokrol tidak sama dengan advokat. Mereka bukan sarjana hukum bergelar Meester in de Rechten. Eksistensi pokrol muncul di pengadilan sebagai kuasa dari pihak berperkara. Kehadiran mereka menjadi alternatif yang diizinkan pengadilan kolonial Belanda selain jasa advokat.

Istilah pokrol pada mulanya berasal dari procureur yaitu istilah Belanda untuk kuasa hukum perdata. Konon, pengetahuan hukum tidak diperoleh para pokrol dari pendidikan formal, tapi mereka diizinkan berpraktik di pengadilan.

Kalangan pokrol ini lebih suka menyebut diri mereka sebagai pengacara. Itu sebabnya mereka menggunakan nama pengacara saat mendirikan PERPI.

PSHK mencatat tidak ada data ditemukan soal organisasi advokat selain Balie van Advocaten dan PERPI pada masa itu. Baru pada masa 1959-1960 muncul organisasi advokat yang didirikan advokat Indonesia di Jawa Tengah. Organisasi advokat Indonesia skala lokal ini selanjutnya bermunculan di Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya dengan nama Balai Advokat.

Dan awal tahun 1960-an menjadi titik awal lahirnya organisasi advokat dengan skala nasional. Persatuan Advokat Indonesia/PAI resmi berdiri 14 Maret 1963 dalam rangkaian Seminar Hukum Nasional. Ketua pertamanya adalah Mr.Loekman Wiriadinata. PAI ini disepakati para pendirinya hanya bersifat sementara dalam rangka mewujudkan wadah tunggal organisasi advokat nasional.

Setahun kemudian, Persatuan Advokat Indonesia menggunakan singkatan baru Peradin setelah dibentuk lewat Kongres khusus di Solo. Peradin dinyatakan berdiri pada 30 Agustus 1964.

Peradin mengupayakan konsistensi Indonesia sebagai negara hukum pasca tumbangnya Orde Lama di tahun 1966.

Orde Baru mempercayai Peradin dengan penegasan secara politik sebagai satu-satunya organisasi advokat Indonesia. Namun, Peradin berani bersikap kritis pada kemandegan Orde Baru membangun demokrasi. Terjadi kerenggangan dengan Orde Baru terutama pada tahun 1977 saat kongres Peradin meneguhkan jati diri sebagai organisasi perjuangan.

Baca Juga: Pemerintah Mulai Soroti Shopaholic, Salahkah Mereka

Visi organisasi perjuangan itu membuat sejumlah tokoh Peradin yang pro Orde Baru mengundurkan diri. Tidak hanya mundur, mereka juga mendirikan Himpunan Penasehat Hukum Indonesia/HPHI. “Dukungan moril dan kelembagaan yang pernah diberikan pada 1966 secara diam-diam ditarik kembali,” demikian tertulis dalam laporan riset PSHK.

Ketua Tim laporan Riset PSHK itu, Binziad Kadafi menyebut sejak saat itu bermunculan banyak organisasi advokat selain Peradin. Dimulai dari HPHI, selanjutnya disusul Forum Studi dan Komunikasi Advokat/Fosko Advokat, Bina Bantuan Hukum/BBH, Pusat Bantuan dan Pengabdian Hukum/Pusbadhi dan lain-lain dalam waktu berdekatan. “Tidak begitu jelas motivasi serta kebutuhan organisasi-organisasi tersebut,” kata peneliti yang biasa disapa Dafi itu dalam laporan riset PSHK.

Dalam perkembangannya, wibawa Peradin turun perlahan karena para anggotanya tidak bisa didisiplinkan berkomitmen pada Peradin. Puncaknya, Pemerintah berusaha melebur Peradin dengan organisasi-organisasi advokat yang ada. Ketua Mahkamah Agung Mudjono, Jaksa Agung Ismail Saleh, dan Menteri Kehakiman Ali Said mengusulkan peleburan itu pada kongres Peradin di Bandung pada tahun 1981.

Usul itu tentu saja untuk kepentingan politik mengontrol profesi advokat. Tugas rekayasa peleburan itu dilakukan oleh Ali Said dengan mendirikan Ikatan Advokat Indonesia/Ikadin pada 10 November 1985. Para anggota Peradin tidak menyerah begitu saja. Kompromi alot sampai pada kesimpulan Peradin tetap berdiri bersama dengan Ikadin. Ketua Umum Peradin Harjono Tjitrosoebono ditempatkan sebagai Ketua Umum Ikadin meski tidak secara demokratis.

Perlu dicatat bahwa Peradin pada dasarnya tidak pernah dibubarkan. Hanya saja, para anggotanya beramai-ramai pindah ke Ikadin. Pemerintah saat itu tidak berhasil memaksa Peradin dan organisasi-organisasi advokat yang ada untuk sepenuhnya melebur dalam Ikadin.

Bersamaan dengan itu, profesi pokrol dan pengacara praktik masih berlanjut di Indonesia. Pengacara praktik berbeda dengan pokrol. Mereka bisa dikatakan punya kompetensi dan gelar kesarjanaan hukum seperti advokat. Hanya saja wilayah kerjanya terbatas hanya di Pengadilan Tinggi yang memberi lisensi.

Kegagalan intervensi lewat Ikadin dilanjutkan dengan mempertajam konflik antara profesi advokat dengan pengacara praktik. Pemerintah memberikan izin pendirian Ikatan Penasehat Hukum Indonesia/IPHI sebagai organisasi bagi pengacara praktik. IPHI berdiri di Surabaya dengan Abdul Azis Muhammad Bahlmar sebagai Ketua. Selama ini pengacara praktik tidak bisa bergabung dalam wadah organisasi advokat yang ada.

Tahun 1990 terjadi perpecahan Ikadin yang didukung Menteri Kehakiman Ismail Saleh. Ikadin Cabang Jakarta yang dipimpin Gani Djemat dan Yan Apul menyempal setelah gagal mengambil alih kepemimpinan Ikadin. Mereka lalu mendeklarasikan Asosiasi Advokat Indonesia/AAI.

Di luar konflik Peradin, Ikadin, lalu AAI, para advokat dengan spesialiasi tertentu juga mendirikan organisasi terbatas. Misalnya pada tahun 1988 berdiri Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia/AKHI, lalu disusul Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal/HKHPM.

Konflik organisasi advokat Indonesia sempat menjadi perhatian komunitas internasional berkaitan dengan keanggotaan di International Bar Association/IBA. AAI sempat mendapat pengakuan keanggotaan oleh IBA untuk mewakili Indonesia, tapi dicabut untuk dikembalikan pada Ikadin. “Organisasi advokat tidak lagi menjadi wadah kolektif profesi untuk melaksanakan fungsi profesionalnya, namun justru lebih banyak berperan sebagai perkumpulan belaka,” demikian kesimpulan laporan riset PSHK.

Kesimpulan itu diperkuat fakta bahwa tidak ada kode etik profesi yang berlaku sama untuk semua advokat, apalagi pengawasannya. Baru tahun 1995 ada kesepakatan kode etik bersama bagi anggota Ikadin, AAI, dan IPHI di bawah naungan Forum Komunikasi Advokat Indonesia/FKAI. Sayangnya itu tidak berlangsung lama. Ikadin menarik diri dari FKAI lalu kembali mengacu kode etik Ikadin untuk anggotanya. Sebabnya karena Ikadin ingin diakui sebagai wadah tunggal pemersatu alih-alih FKAI.

Itu lika liku organisasi advokat Indonesia sejak jaman penjajahan Belanda.

catatan jurnalistik saya, setelah reformasi, masih tumbuh perdebatan inkoporasi organisasi advokat.  Perdebatan ini menjadi batu ganjalan dalam perumusan RUU advokat. Banyak pihak, termasuk kalangan DPR dan advokat, ragu tujuh organisasi advokat yang ada yaitu Ikadin, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM, mau disatukan dalam sebuah organisasi advokat. Buktinya, MA membuat terobosan mengakui pokrol dengan SEMA. Kini Peradi mengeluarkan jurus merangkul semua profesi jasa hukum.

Akal sehat saya Peradi perlu menyepakati syarat umum yang harus dimiliki setiap calon advokat.

Wajar nantinya dibentuk satu badan sertifikasi  yang melakukan ujian advokat. Terutama ujian mengenai pengetahuan hukum dan kode etik advokat.

Badan inilah  sertifikasi advokat dikeluarkan dan diakui. Tentu badan yang independen, bukan seperti sekarang, setiap organisasi advokat dari "desa" bisa selenggarakan ujian sertifikasi advokat. Masya Allah. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU