New Normal di Surabaya Raya Mirip Cerita 'Tom and Jerry'

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 22 Jun 2020 20:52 WIB

New Normal di Surabaya Raya Mirip Cerita 'Tom and Jerry'

i

Catatan Wartawan Muda Raditya Mohammer Khadaffi

Sejak 28 April 2020, diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Surabaya Raya. Diharapkan, bisa memutus mata rantai penyebaran virus Corona (Covid-19). Namun, hingga PSBB jilid 3 tidak diperpanjang dan kini masuk masa transisi menuju era new normal, ternyata masih belum bisa memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Bahkan hingga Senin (22/6/2020), di Jatim warga yang terkonfirmasi positif mencapai 9.528 kasus. Tertinggi kedua setelah DKI Jakarta. Namun, untuk level Kota/Kabupaten, dari data BNPB, Surabaya justru menjadi yang terbanyak. Komulatif, sudah 4.572 kasus positif Covid-19 (berdasarkan data Pemkot Surabaya di laman lawancovid-19.surabaya.go.id, Senin (22/6/2020) siang pukul 12:00 WIB).

 Melihat realita data yang disajikan ke publik secara gamblang, penerapan menuju hidup dengan tatanan baru atau era new normal di kota Surabaya sendiri, sepertinya masih jauuhhhh banget. Apalagi, perilaku masyarakat di kota Surabaya sendiri belum sepenuhnya bisa dibilang 100 persen, patuh.

Baca Juga: Ajak Masyarakat Berolahraga dan Bersenang-senang, AKG Entertainment Gelar Pokemon Run 2024 di Surabaya

 Peraturan Wali Kota (Perwali) Surabaya Nomor 28 tahun 2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru pada Kondisi Pandemi Corona virus disease 2019 (Covid-19) di kota Surabaya yang dibuat dan ditandatangani Tri Rismaharini, pun masih belum dipatuhi seutuhnya di masyarakat Surabaya.

 Padahal, saya ingat, Sabtu, 6 Juni 2020 lalu, saat Wali Kota Risma tinjau Stadion Gelora Bung Tomo, sudah nyuwun-nyuwun kepada Gubernur Jatim Khofifah, untuk menghentikan PSBB jilid 3. Alasan Bu Risma saat itu, karena faktor ekonomi. “Ekonomi masyarakat Surabaya harus bergerak. Masyarakat tak bisa dapat penghasilan. Kasihan masyarakat yang membutuhkan penghasilan untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Jadi warga saya itu bisa tenang dan bergeliat lagi. Asalkan protokol kesehatan tetap diperketat,” kata Risma saat itu.

 Soal ekonomi yang dikeluhkesahkan Bu Risma, sejak Indonesia dihantam Covid-19 awal Maret 2020, angka pertumbuhan ekonomi RI pada kuartal I/2020 hanya sebesar 2,97 persen (hasil dari Badan Pusat Statistik, April 2020 lalu). Angka ini terbilang merosok jatuh dibanding akhir tahun 2019, diangka 5.02 persen. Makanya tak heran, Risma ngotot untuk memulihkan kondisi ekonomi lebih dulu sambil memperbaiki kesehatan.

 Namun, berbeda apa yang dikatakan beberapa pakar epidemiologi, bahwa penghentian PSBB seharusnya tidak dilakukan karena rate of transmission di wilayah Surabaya Raya masih diatas angka 1. Pakar epidemiologi ini melihat, harus menurunkan kurva Covid-19 lebih dulu, baru bisa menghentikan PSBB dan bersiap menuju di era new normal. Artinya, pakar epidemiologi ini melihat perbaiki kesehatan dulu, baru pikir meningkatkan ekonominya dulu.

 “Yah sebelumnya belum layak untuk dijalankan new normal. Peningkatan pasien positif juga masih terus tinggi. Tapi jika dilihat perilaku masyarakat, sepertinya mereka sudah bosan dan alergi dengan PSBB,” kata salah satu pakar epidemiologi dari Universitas Airlangga (Unair) dr Windhu Purnomo, sehari setelah PSBB jilid 3 tidak diperpanjang.

 ***

 Bicara perilaku masyarakat di Surabaya dengan penerapan protokol kesehatan yang diterapkan di Pemkot Surabaya. Saya sontak teringat seperti cerita kartun kucing dan tikus “Tom and Jerry”. Karakter Tom and Jerry, dibuat pertama kali oleh duet William Hanna dan Joseph Barbera pada tahun 1940 ini. Tom, seekor kucing yang selalu kejar-kejaran dan saling sembunyi dengan Jerry, seekor Tikus, yang dikenal cerdik. Meski begitu, tidak selamanya mereka kejar-kejaran dan sembunyi-sembunyi. Terkadang mereka juga hidup berdampingan.

 Nah, sama dengan di kota Surabaya ini. Penerapan Perwali New Normal dan protokol kesehatan dengan perilaku masyarakat, seperti bak Tom and Jerry, yang kejar-kejaran, kucing-kucingan, dan saling sembunyi.

 Bila tidak diawasi, perilaku masyarakat Surabaya di tengah pandemi Covid-19 yah bisa berleha-leha tanpa ada protokol kesehatan. Tetapi kalau ditegur dan diketati, nanti malah lari dari tanggungjawab sebagai masyarakat untuk menjalankan sebuah protokol kesehatan.

 Namun, meski begitu, terkadang mereka bisa berdampingan bersama dengan petugas yang menegakkan Perwali. Meski belum semua pihak belum ketat. Karena tingkat masyarakat di Surabaya itu heterogen. Tinggal bagaimana sama-sama mau menerapkan protokol kesehatan.

 Padahal, protokol kesehatan paling dasar itu, gunakan masker (masker apapun, yang penting pakai masker), biasakan cuci tangan sebelum dan sesudah aktivitas, atau bisa gunakan hand sanitizer, dan terakhir menjaga jarak alias physical distancing. Tujuannya apa sih? Yah agar tidak mudah tertular. Pasalnya, kini, orang batuk sedikit saja, dikira kena Corona. Yah karena virus Corona itu penularannya melalui droplet (muncratan air liur atau ingus) dari mulut atau hidung.

 Akan tetapi, yang namanya perilaku masyarakat Surabaya itu, susah-susah gampang untuk disosialisasikan soal protokol kesehatan. Padahal, Wali Kota Risma dulu sudah berjanji, PSBB dihentikan, akan mengetatkan protokol kesehatan. Bahkan, dalam Perwali Surabaya New Normal yang ditandatangani Wali Kota Risma 10 Juni 2020 lalu, sudah diatur jelas, ada 12 poin tata dan aturan protokol kesehatan di setiap tempat publik. Bahkan ada sanksi tegasnya juga. Tetapi, nyatanya… yah begitulah….

Baca Juga: KPU Kota Surabaya Mulai Seleksi Calon Anggota PPK dan PPS Pilkada 2024

 Saya sendiri berkali-kali bertemu beragam macam orang, dari tingkat masyarakat bawah saat saya bertemu di pasar atau jajanan pinggir jalan. Hingga tingkat masyarakat yang lebih atas, saat berpapasan di salah satu swalayan / supermarket. Masih aja yang tidak patuh. Alasannya ada yang “Pakai masker nanti sesak napas”. Ditegur soal jaga jarak, juga masih tidak dihiraukan. Sampai-sampai, masih ada orang masyarakat bawah tidak percaya adanya Corona. “Sakjane Corona iku onok tah gak sih mas! Aku dodhol gak atek masker yo gak tau kenek. Lek ndelok youtube, jarene onok sing ngomong konspirasi,” kata penjual warung nasi yang saya temui, saat sedang mampir di apotik Kimia Farma, berseberangan dengan RSUD dr Soetomo, dimana yang setiap hari menerima pasien Covid-19.

 Mendengar beragam respon masyarakat yang saya temui, memang tidak menggambarkan secara utuh bahwa seluruh masyarakat Surabaya itu sama seperti yang saya temui. Akan tetapi, yang paling miris, saat harian kita ini menurunkan liputan khusus 17 Juni 2020 lalu, dengan judul “Perwali New Normal, Macan Kertas”. Itu realita loh, guys...!

 Perwali New Normal justru masih belum dilaksanakan secara tegas baik oleh si pembuat Perwali itu sendiri. Dimana, Satpol PP Kota Surabaya yang seharusnya menjalankan dan menegakkan aturan Perwali itu di masyarakat, masih belum menunjukkan taringnya saat itu. Dan masyarakatnya sendiri juga sama. (Tapi setelah Headline di harian kita itu, Satpol PP sudah tegas kok, tapi ntah, tegasnya sudah merata hingga seluruh sudut kota Surabaya atau belum).

 Bahkan, terkesan pelaksanaan dan penegakan Perwali Surabaya sendiri ada tebang pilih di beberapa tempat usaha. Ada restoran atau kafe berbasis kopi dengan tongkrongan dengan nama besar, justru “dibiarkan” bila tidak patuh dalam protokol kesehatan. Seperti tak pakai masker, tak disiapkan tempat cuci tangan, bahkan cenderung mengabaikan physical distancing. Akan tetapi, tempat-tempat biasa yang tak punya nama besar, justru diketati.

 ***

 Nah, apa yang dilakukan untuk menuju New Normal di Surabaya sendiri sepertinya masih jauh. Bahkan, penerapan new normal yang dirasa terburu-buru menimbulkan spekulasi bahwa pemerintah ingin perekonomian secara cepat bangkit kembali.

 Bahkan ahli dari Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore, Prof Tikki Pangestu, percaya saat ini Indonesia tengah berada pada puncak pandemi. Terlalu terburu-buru apabila new normal sudah mulai diimplementasikan, termasuk dengan rileksasi PSBB dan pembukaan pusat perbelanjaan dan mall. “Dengan dibukanya mal dan pusat perbelanjaan di Indonesia, kita butuh lebih banyak social responsibility. Indonesia masih berada di puncak pandemi,” kata Prof Tikki Pangestu, awal Juni 2020 lalu.

Baca Juga: Pokemon Run 2024 Ramaikan kota di Surabaya

 Asal tau saja, guys. Kini, Indonesia sudah menempati rangking satu di antara negara-negara ASEAN untuk kasus positif Covid-19. Per Senin (22/6/2020), kasus positif Covid-19 di Indonesia sudah mencapai 46.845 kasus terkonfirmasi. Menyalip Singapura di peringkat kedua, dengan 42.313 kasus positif.

 Lantas, apakah penerapan new normal di Indonesia saat ini dinilai dipaksakan dan kepentingan para pelaku ekonomi untuk memulihkan perekonomian? Dengan mengabaikan keselamatan dan kesehatan untuk memutus penyebaran virus Covid-19? Apalagi hingga kini, vaksin untuk virus Covid-19 sendiri masih belum diproduksi massal. Meskipun berbagai negara mengklaim sudah temukan obat.

 Sampai terbaru, kampus almamater saya, Universitas Airlangga, yang mengklaim sudah menemukan obat Covid-19 dari lima elemen stem-cell bisa membunuh virus Corona 80-90 persen. Nyatanya, kasus global, masih mengalami peningkatan. Dimana pandemi virus Covid-19 ini sudah menyerang hampir 9 juta penduduk di dunia.

 Seperti yang dikatakan Kapolda Jatim yang baru, Irjen Pol Muhammad Fadil Imran, vaksin Covid-19 ini adalah disiplin. “Disiplin adalah vaksin!” itu yang didengungkan Kapolda Jatim M. Fadil Imran berkali-kali disetiap kesempatan bertemu dengan berbagai pihak. Bahkan, saat Kapolda bertemu dengan jajaran pemimpin redaksi media di Jatim, termasuk saya saat itu hadir. Menegaskan, bahwa vaksin yang menyingkirkan virus Corona adalah disiplin masyarakat itu sendiri.

 Lalu, apakah disiplin masyarakat sendiri sudah bisa dijalankan? Asalkan bisa disiplin menjalankan protokol kesehatan dan physical distancing, serta disiplin mematuhi aturan pemerintah. Insha Allah, apa yang dikatakan Presiden Joko Widodo, Indonesia masuk new normal, bisa terealisasi.

 Jangan sampai dengan “dilonggarkan” kembali aktivitas sosial ekonomi di masyarakat, dengan ke-new normal-annya. Baik di Surabaya, Jawa Timur dan Indonesia, tidak bisa menurunkan angka positif Covid-19. Malah justru memperburuk perekonomian.

 Kembali lagi, new normal berjalan, jika masyarkat disiplin. Karena disiplin adalah vaksin. Apapun, bila dianggap Covid-19 adalah konspirasi. Tetapi ingat, ada tenaga kesehaan dan dokter yang meninggal saat menangani pasien Covid-19. Insha Allah, bisa beneran New Normal dan bahkan bisa kembali beraktivitas normal sebelum adanya pandemi Covid-19 ini. Wallahualam. n [email protected]

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU