Penegakan Hukum Melalui Viral, Lebih Manjur

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 01 Agu 2023 11:28 WIB

Penegakan Hukum Melalui Viral, Lebih Manjur

Judul berita utama harian kita edisi Senin (31/7/2023), "Ganjar Akui Penegakan Hukum era Jokowi, Belum Baik". Headline ini untuk mengingatkan kita, masalah penegakan hukum menyangkut perlindungan hukum dan keadilan masyarakat.

Berdasarkan hasil survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI), terdapat sejumlah aspek hukum dalam kinerja pemerintahan Joko Widodo yang belum tercapai dan menjadi catatan merah menurut para responden.

Baca Juga: Resiko Pejabat Bea Cukai Berkongsi

Hasilnya, 62,1% responden menilai bahwa Jokowi belum mampu mencapai proyek pemerintahan yang bersih dari korupsi/nepotisme.

Kemudian, sebanyak 55,9% responden menilai pemberatasan korupsi di era Jokowi belum tercapai. Lalu, sebanyak 54,5% responden menilai penegakan hukum yang adil belum tercapai di era pemerintah saat ini.

“Survei ini menunjukkan lemahnya kinerja pemerintahan Jokowi dalam menangani kasus rasuah. Penegakan hukum yang adil jadi aspek soal hukum ini menjadi catatan merah dari masyarakat untuk pemerintahan presiden Jokowi,” kata analisis KedaiKOPI.

Lembaga ini melakukan survei ini pada 29 Mei-7 Juni 2023 terhadap 1.200 responden berusia 17-65 tahun yang tersebar di 38 provinsi Indonesia.

Saya kutil survei Kompas pada Januari 2023, tingkat kepuasan masyarakat pada kinerja di bidang penegakan hukum membaik 3,9 persen pada survei Mei 2023. Namun, tingkat kepuasan pada indikator pemberantasan suap dan jual-beli hukum masih 42 persen, lebih kecil daripada responden yang menjawab tidak puas, yakni 44 persen.

Peningkatan apresiasi publik atas kinerja pemerintah di bidang penegakan hukum dibayangi suap dan jual beli hukum.

Bagaimana solusi mempersempit suap suap dalam penegakan hukum?

Pemantauan saya dilapangan terutama dipengaruhi sikap penegak hukum yang mestinya tak pandang bulu dalam melayani masyarakat pencari keadilan. Tapi ada faktor Xnya.

Contoh yang saya temukan ada laporan dugaan penggelapan dalam perusahaan tahun 2019, baru Juli 2023 ada tanggapan dari petugas. Ironisnya, petugas tidak menyerahkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP), tapi malah minta pelapor diminta mencabut laporannya.

Beda dengan kasus high profile, seperti kasus bekas Kepala Polda Sumatera Barat Teddy Minahasa dan eks Kadiv Propam Mabes Polri Ferdy Sambo. Dua kasus yang cukup mendapat perhatian publik ditangani lebih cepat. Inikah wajah penegak hukum kita sampai era pemerintahan Jokowi. Mengapa praktik diskriminasi terhadap penegakan hukum masih membedahkan kasus high profile, middle profile dan low profile?.

Benarkan kasus yang bukan seperti Teddy dan Sambo, terkait praktik suap dan jual beli kasus?

Temuan saya di lapangan, banyak masyarakat yang menyatakan tak puas atas kinerja aparat hukum. Malahan seorang advokat senior menemukan praktik dugaan suap dan jual beli kasus, karena diintervensi makelar kasus beremblem Kartu Anggota Organisasi advokat yang kini tumbuh subur.

Masuk akal pernyataan bacapres Ganjar Pranowo itu. Mengingat masalah penegakan hukum menyentuh kepuasan publik di sektor hukum.

 

***

 

Secara sempit, saya memaknai penegakan hukum sebagai pelaksanaan hukum oleh aparat penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Mereka diberikan kewenangan oleh undang-undang.

Praktisi hukum pun tahu bahwa tujuan dari penegakan hukum adalah untuk menghadirkan rasa aman, kerukunan dan ketertiban masyarakat. Ini karena Indonesia merupakan negara hukum. Ini tertuang dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945.

Konsensus konstitusinya, ada konsekuensi dalam penegakan hukum yang sama dan berkeadilan (Equality before the law). Maraknya kasus hukum yang mencuat ke publik saya serap mencerminkan dua hal sekaligus yaitu diskriminasi dan kriminalisasi oleh aparat penegak hukum.

Maka itu, saya mendukung maraknya fenomena 'viral' dulu baru ditindak untuk mengkontrol proses penegakan hukum, di era keterbukaan. Usai viral, biasanya mencengangkan aparat hukum .

Akal sehat saya menyebut masifnya pengguna sosial media membuat informasi mengudara secepat kilat. Apalagi untuk kasus-kasus tertentu yang mengundang reaksi publik, KDRT, bullying, hamil di luar nikah, pelecehan seksual (pedofil), penipuan oleh pelaku kelas menengah.

Menurut akal sehat saya, dengan rendahnya penegakan hukum yang diungkap dua lembaga penegak hukum, maka slogam "Viral' dulu baru ditindak" patut dijadikan semangat jual pencari keadilan yang menghindari suap dan markus.

Baca Juga: Jurnalistik Investigasi Ungkap Kejahatan Tersembunyi untuk Kepentingan Umum

Fakta yang saya ikuti laporan viral atas suatu kasus kenyataannya ramai diperbincangkan warganet. Viral ini acapkali mendapat sorotan dan respon cepat dari para penegak hukum, atau lembaga lain yang punya kompetensi pengawasan.

Secara obyektif, viral suatu kasus bisa memudahkan kinerja aparat. Sekaligus memperluas jarak terhadap prinsip (Equality before the law), karena tidak semua kasus dapat diungkap ke publik.

Oleh karena itu, selama kinerja penegak hukum masih memble seperti sekarang, viral harus lebih digaungkan dibudayakan kepada semua kalangan tanpa terkecuali.

Bisa jadi orang yang viral itu saat mengadu, melaporkan, atau meminta tolong ke pihak tertentu dan dikecewakan. Anggapannya melapor secara konvensional pada penegak hukum, dirasakan tidak mampu berproses secara adil.

Viral" adalah kata sifat yang digunakan untuk mendeskripsikan sesuatu yang telah menjadi sangat populer atau dibagikan secara luas melalui media sosial atau platform online lainnya.

Ada viral video atau meme yang telah dibagikan dan dilihat oleh jutaan orang dalam waktu singkat dapat dikatakan viral.

Praktis kata “viral” menggambarkan suatu peristiwa yang diunggah ke media sosial dan memiliki daya tarik tertentu, sehingga memicu pengguna media sosial untuk membagikan kembali unggahan tersebut ke khalayak yang lebih luas. Ini yang kadang menggugah aparat penegak hukum tidak memainkan jurus kepentingan (vested intetest).

Maka itu, tagar #PercumaLaporPolisi yang pernah mencuat di sosial media bisa jadi bahan instrospeksi pimpinan polri di semua tingkat sampai polsek. Mengingat tagar tersebut adalah bentuk sindiran terhadap lembaga kepolisian yang dianggap kurang cepat merespon aduan dari masyarakat yang tak mau memberi upeti. saya pernah menanyakan kepada orang yang viral kasus temannya mengatakan temannya mengaku sudah melapor dan tapi belum diproses. Akhirnya ia menempuh laporan melalui viral.

Jagat maya memang efektif mengungkap kasus yang disembunyikan. Contoh kasus seorang mahasiswi Universitas Brawijaya yang ditemukan meninggal dunia karena bunuh diri di pusara ayahnya.

Awalnya, ia diduga depresi karena ditinggal ayah. Namun, dari media sosial terungkap korban depresi berat karena kekasihnya memperkosanya dan menolak bertanggung jawab atas kehamilannya. Bahkan, korban sudah dua kali menggugurkan kandungannya akibat desakan kekasihnya dan keluarganya.

Belakangan akhirnya publik tahu kekasihnya adalah seorang polisi berpangkat Bripda berinisial Randy di Polres Pasuruan Kabupaten.

Dan berkat jari-jemari netizen (warganet), terungkap semua permasalahan yang diderita korban.

Baca Juga: Komedian jadi Menteri, Bisa Campurkan Humor dan Joke

 

***

 

Pertanyaan yang menggelitik saya, mengapa sampai kini masih ada penegakan Hukum yang terganjal Integritas Rendahnya karena perilaku koruptif.

Bercermin pada hasil survei dua lembaga diatas, saatnya pemerintah Jokowi dalam sisa dua tahun kekuasaannya memprioritaskan penyimpamgan penegakan hukum yang kini menjadi salah satu persoalan paling rendah.

Termasuk menggairahkan kesadaran masyarakat menggunakan viral sebagai laporan transparan yang macet dilaporkan lewat SPKT atau Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu.

Saya menilai viral bukan lagi fenomena media sosial untuk melakukan “aduan” tindak pidana, harus diakui sosial media berhasil menggerakkan para pengguna untuk melakukan suatu tindakan secara kolektif.

Kelak bila istana mendorong publik kirim aduan melalui viral, suka atau tidak, pada akhirnya media sosial akan menjadi saluran yang efektif bagi masyarakat untuk melakukan “aduan” terhadap kasus pidana yang mereka alami. Artinya walaupun memang tidak mudah bagi korban untuk mengungkapkannya di media sosial, tetapi ini menjadi cara yang terbukti efektif untuk mendorong kepolisian memproses kasus yang terjadi. Termasuk mengkontrol kinerja Hakim hakim agung yang selama ini dinilai hidup dalam eksklusifme, bayang-bayang "Yang mulia".

Hal menggembirakan dengan banyak kasus viral, muncul jargon "No viral No justice?"

Ungkapan no viral no justice ini menggambarkan "tidak viral tidak ada keadilan".

Akal sehat saya berteriak ungkapan "no viral no justice" ini tak hanya sekadar jargon semata, tetapi juga strategi untuk mendapatkan keadilan. Konklusi keadilannya; penegakan hukum melalui Viral, masih lebih manjur ketimbang suap dan jual beli kasus lewat markus. Masya Allah. ([email protected])

Editor : Raditya Mohammer Khadaffi

BERITA TERBARU