Ojo Nggumun, Kelicikan-kelicikan ala Ken Arok

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 01 Sep 2023 21:09 WIB

Ojo Nggumun, Kelicikan-kelicikan ala Ken Arok

i

Raditya M. Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Partai Demokrat dan Partai NasDem, akhir minggu ini tampaknya akan pecah kongsi. Demokrat, merasa dikhianati bos NasDem, Surya Paloh. Ini setelah ada info, Anies Baswedan bakal gandeng Muhaimin Iskandar alias Cak imin, Ketua Umum PKB.

Padahal, tanggal 25 Agustus lalu, Anies Baswedan, kirim surat ditulis tangan janjikan bakal Cawapresnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Kini, Anies justru mlengos ke sepupu Gus Dur. Demokrat tuding Anies pengkhianat dan pengecut.

Baca Juga: Budi Said, Dituding Mafia Tanah, Apa Iya??

Pertanyaannya, masak AHY dan elite Partai Demokrat tidak paham adagium politik, tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Justru yang ada adalah kepentingan atas sesuatu yang diingini.

Sebagai jurnalis, saya jengah diajak bincang terkait dukung-mendukung Anies, Ganjar dan Probowo. Peristiwa Anies digandengkan Cak Imin adalah keputusan politik Surya Paloh. Bos NasDem ini sudah dikenal jago nego dan berdamai dengan lawan tanding. Ia gampang berhantam dengan lawan politiknya lalu tiba-tiba berpelukan. Kini ia diolok-olok pengkhianatan oleh kawan koaliasi perubahan.

Bagi saya, kawan adalah istilah untuk seseorang yang katanya mengerti tentang kita, kenal dengan kita, memahami tentang kita, dan selalu dekat dengan kita. Namun pertanyaannya apakah ada kawan politik yang selalu ada setiap saat untuk kita? Jawabannya pasti tidak karena kawan bukanlah asisten atau bodyguard kita yang selalu ada setiap kita melakukan aktivitas apapun. Bukti terbaru kasus Partai Demokrat dan NasDem. Elite Partai Demokrat sampai menuding NasDem berkhianat.

Menggunakan adagium itu bagi saya tidak ada pengkhianat dalam pilihan-pilihan politik praktis. Mengingat sesungguhnya yang saya ikuti ada adalah penentuan-penentuan yang lahir atas logika capaian dalam jangka waktu tertentu. Contoh, ubyak ubyuknya AHY dengan Anies hanya berumur jagung.

Dua elite parpol ini ternyata tidak serta merta mampu memenangkan putusan-putusan politik untuk dalam jangka waktu yang abadi. Kini tampaknya, Demokrat maupun NasDem, saatnya jalani masa berganti. Ada situasi yang berbeda. Gambarannya ada aktivitas politik yang saling bergilir dalam rotasi waktunya.

Inilah realita politik ada pilihan-pilihan dan kebijakan-kebijakan politik dadakan. Jargonnya inilah dinamika politik. Kawan berpolitik tidak mesti selalu seiring sejalan. Ada masanya berbeda persepsi, perspektif, nalar. Juga bisa berujung pada perselisihan pilihan. Kasus Anies, saya baca lahir dari kegaduhan internal koalisinya. Ada perbedaan terhadap kebijakan dan arah. Nyata, ada haluan-haluan menjadi zig-zag politik kepemimpinan. Ini yang saya lihat lawan bisa menjadi kawan. Tentu ketika terjadi kecocokan atau kesadaran dalam diri masing-masing bahwa tidak seharusnya mempunyai lawan. Apalagi ketika sedang dalam berkompetisi lawan adalah pihak yang harus dihadapi dan harus dikalahkan. Oleh karena itu lawan pun tidak ada yang abadi. Apa bukan begitu Pak Anies?

Lalu apa yang terjadi dalam kasus Anies? Kok bisa sudah bikin deklarasi, tak akur alias tidak bisa abadi? Terus apa yang terjadi? Jawabannya adalah kepentingan.

Akal sehat saya, ini kepentingan yang sangat melekat pada Demokrat dan NasDem. Saat kedua parpol ini berkawan pasti ada kepentingannya. Begitupun saat Anies bisa gandeng Cak Imin, yang semula dipersepsikan lawan juga terdapat kepentingan. Benar peribahasa politik, kepentingan tidak mengenal yang namanya kawan atau lawan. Bukti kepentingan selalu ada dimanapun berada dan di waktu kapanpun.

 

***

 

Baca Juga: Jual-beli Opini WTP, BPK Minta Rp 40 M

Catatan jurnalistik saya, saat Megawati Soekarnoputri menjabat Presiden RI, SBY dikenal sosok yang sangat dipercaya oleh Mega. Jabatan SBY adalah Menkopolhukam yang kala itu adalah jabatan sangat strategis.

Ketika SBY ikut nyapres 2004, bagi saya itu hal yang lumrah, dan hak politiknya SBY. Sah-sah saja dan harus dihormati. Tidak perlu dibilang begal politik segala.

Justru saya jadi berfikir lain ada apa elite Demokrat tuding Anies, pengkhianat dan pengecut.

Pertanyaan bentuk pengkhianatan Anies ini apa lebih busuk dari begal politik yang ditudingkan AHY kepada Moeldoko? Walahualam.

Kasus Anies-AHY dan Mega-SBY, saya teringat politik licik ala Ken Arok. Ia tega korbankan sahabat sendiri.

Ada strategi politik memperebutkan kekuasaan dengan mengorbankan nasib orang lain. Kisah ini tidak hanya ada di zaman reformasi, tapi sering terjadi sejak zaman kerajaan di Nusantara.

Ini menurut saya campuran ambisi kekuasaan dan keserakahan.

Baca Juga: Resiko Pejabat Bea Cukai Berkongsi

Salah satu kisah perjalanan politik kejam juga pernah terjadi pada zaman berdirinya kerajaan besar bernama Singasari.

Pada sejarah ini muncul nama Ken Arok yang merupakan sosok raja besar di Singasari. Dari sejumlah literasi, Ken Arok lahir pada tahun 1104 Saka atau 1182 Masehi. Konon ia adalah anak dari petani miskin bernama Ken Endok yang suaminya seorang brahmana. Mereka tinggal di desa wilayah Tumapel yang mungkin sekarang ini di wilayah antara Kediri dan sekitarnya di Jawa Timur.

Ken Arok memang sosok yang berambisi kekuasaan dan ingin menjadi raja. Untuk mewujudkan mimpinya ini, ia mendatangi seorang Empu ternama pada zaman itu, Empu Gandring untuk minta tolong dibuatkan keris. Cermin kelicikan dan ambisiusnya membuat Ken Arok nekat. Saat itu, meski keris belum jadi, ia memaksa Empu Gandring menyerahkan keris tersebut. Dan bukannya berterima kasih kepada Empu Gandring, justru ia malah membunuhnya. Otak licik Ken Arok ini terus berputar ia pun mencari cara untuk membunuh Adipati Tunggul Ametung namun harus tampak bersih dan seakan tidak bersalah.

Ini yang saya pantau jelang pendaftaran pilpres 2024.

Jangan kaget muncul kelicikan-kelicikan ala Ken Arok. Ojo nggumun kasus Anies - AHY. Membaca peta politik jelang pendaftaran pilpres 19 Oktober, bisa muncul seorang capres yang cerdik, matang dan penuh intrik

Politik itu kejam. Contoh Ken Arok untuk mencapai kekuasaan ia pun pura pura menjadi pahlawan istana dan membunuh temannya sendiri Kebo Ijo seakan ia menjadi penyelamat Kadipaten Tumapel dari ulah Kebo Ijo. Pada kisah ini Ken Arok bisa menjadi Adipati Tumapel, tahap satu kekuasaan sudah di tangan dan Ken Arok dianggap pahlawan bukan pembunuh. Masya Allah. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU