SURABAYAPAGI.COM, Jakarta - Dua pakar hukum UGM dan UI soroti Putusan batas usia capres-cawapres yang rencananya akan dibacakan MK pada Senin, (16/10/2023) lusa.
Mahkamah Konstitusi (MK) bila kabulkan gugatan ini dinilai melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Inu apabila MK mengubah batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) melalui putusan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Baca Juga: Sah! Menang Putusan MK, Khofifah-Emil Jadi Pemengan Pilgub Jatim 2024
Hal itu disampaikan Direktur Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN) sekaligus pakar hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril melalui keterangan tertulis, yang di terima Surabaya Pagi, Jumat (13/10).
Juga pengajar hukum pemilu FH UI, Titi Anggraini, mengaku khawatir gugatan dikabulkan dan aturan tersebut langsung diterapkan di Pemilu 2024, akan mencederai kepercayaan publik terhadap pemilu.
Usia Minimum Wewenang DPR
Oce merespons perkara uji materiil yang intinya ingin menurunkan batas usia minimal yang semula 40 tahun menjadi 35 tahun atau menambahkan syarat 'berpengalaman sebagai penyelenggara negara atau kepala daerah'.
Oce menjelaskan MK telah menegaskan bahwa isu konstitusionalitas persyaratan usia minimum bagi seseorang untuk mencalonkan diri sebagai pejabat publik merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pada berbagai putusan MK terdahulu.
Menurut Oce, itu artinya penentuan syarat usia minimum bagi pejabat publik merupakan kewenangan sepenuhnya pembentuk undang-undang, yakni DPR dan Pemerintah, bukan kewenangan MK.
Tidak Diterapkan di Pemilu 2024
"UUD 1945 tidak mengatur soal angka-angka atau syarat usia sebuah jabatan publik. Berbagai jenis jabatan publik di pemerintahan, persyaratan usianya diatur dalam undang-undang. Khususnya berkaitan dengan pemilihan presiden, UUD 1945 telah mengatur dalam Pasal 6 ayat (2) bahwa syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang," ujar Oce.
Perubahan batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dinilai tak seharusnya diterapkan di Pemilu 2024 jika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan gugatan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Cederai Kepercayaan Publik
Baca Juga: Laut Dipagari Bambu 30,16 Km, Ber-HGB, Langgar Hukum
Menurut pengajar hukum pemilu FH UI, Titi Anggraini, jika aturan tersebut langsung diterapkan di Pemilu 2024 akan mencederai kepercayaan publik terhadap pemilu.
"Mestinya untuk menghindari spekulasi dan konspirasi kecurigaan terhadap praktik pemilu yang bebas dan adil, mestinya kalaupun (gugatan batas usia minimal capres-cawapres) misalnya dikabulkan mestinya tidak diberlakukan untuk pemilu 2024 ini," kata Titi kepada CNNIndonesia.com, Jumat (13/11).
"Karena sangat penting untuk menjaga kredibilitas dan kepercayaan publik terhadap proses dan hasil pemilu 2024," imbuhnya.
Soroti KPU
Titi turut menyoroti Peraturan KPU (PKPU) pencalonan capres-cawapres yang tak kunjung dinomorkan menjelang masa pendaftaran capres-cawapres.
Ia menilai seharusnya KPU tetap mempersiapkan segala aturan pemilu tanpa tergantung dengan proses gugatan di MK. Terlebih, kata Titi, Undang-undang kepemiluan yang menjadi landasan aturan KPU belum berubah.
"Harusnya kan KPU tidak terpengaruh pada proses di MK karena ini UU kan prinsipnya adalah sepanjang UU belum dibatalkan oleh UU lain atau putusan pengadilan maka dia tetap berlaku," jelas Titi.
Baca Juga: KPU Kota Blitar Siap Hadapi Persidangan di MK
KPU Jembatani Kepentingan Politik
Tak hanya itu, Titi menilai wajar jika nantinya ada kelompok masyarakat yang menilai KPU berupaya menjembatani kepentingan politik pihak tertentu.
Hal tersebut dikarenakan gerak KPU yang dinilai Titi lamban dalam mempersiapkan PKPU soal pencalonan capres-cawapres yang berbarengan dengan gugatan yang sedang berjalan di MK.
"Karena ini bisa dinyatakan sangat mepet waktu dan beririsan dengan pembacaan putusan di MK, ya tidak salah kalo publik kemudian mengaitkannya dengan proses politik yang sedang berlangsung," ujarnya.
Gugatan itu diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda dan sejumlah kepala daerah. PSI dkk meminta agar syarat usia capres/cawapres diturunkan jadi 35 tahun. Belakangan juga muncul gugatan dua mahasiswa UNS, agar kepala daerah juga bisa nyapres/nyawpares meski belum berusia 35 tahun.
Disusul gugatan sejumlah kelompok masyarakat agar MK juga membuat batas usia maksimal yaitu 70 tahun. Alasannya, dibutuhkan presiden dengan kondisi badan yang sehat dalam menjalankan tugas, baik fisik maupun psikologis. n cnn/jk/rmc
Editor : Moch Ilham