Keresahan Akademisi, Gejala Indonesia Sense of Crisis

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 05 Feb 2024 21:11 WIB

Keresahan Akademisi, Gejala Indonesia Sense of Crisis

i

Raditya M Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Dalam satu minggu ini, sejumlah sivitas akademika di Indonesia, bersautan. Mereka menyuarakan keresahaan. Resah terhadap Presiden Joko Widodo, karena tindakannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sudah tidak bisa lagi ditolerir.

Sivitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadi yang pertama menyuarakan petisi kepada Presiden Jokowi pada Rabu (31/01) lalu.

Baca Juga: Jokowi-Mega, Hanya Relasi Politik

Melalui petisi yang dinamai 'Petisi Bulaksumur', mereka meminta Presiden Jokowi dan jajarannya untuk kembali ke koridor demokrasi.

Pasalnya di masa pemerintahan Jokowi, telah terjadi pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi, dugaan keterlibatan aparat hukum dalam proses demokrasi, serta keberpihakan pada calon tertentu.

Guru Besar Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto, mengingatkan tindakan yang tak bisa ditolerir itu diantaranya "menggunakan" Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meloloskan Gibran, putranya melaju dalam kontestasi politik. Lalu, memperlihatkan keberpihakan pada salah satu calon tertentu. Ditambah pernyataannya yang ingin berkampanye untuk paslon Prabowo-Gibran.

Ia berharap dengan menggemanya seruan moral dari berbagai universitas ini, "Presiden Jokowi dan penyelenggara negara berubah dalam waktu sesingkat-singkatnya".

Seruan moral Guru besar ini disebutnya sebagai 'Seruan Kebangsaan Kampus Perjuangan' di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Jumat (2/2/2024).

Pada hari yang sama Ketua Dewan Guru Besar UI, Harkristuti Harkrisnowo, membacakan seruan moral yang disebutnya sebagai 'Seruan Kebangsaan Kampus Perjuangan'.

Harkristuti, mengatakan "lima tahun terakhir, utamanya menjelang Pemilu 2024, para sivitas terpanggil untuk 'menabuh genderang' demi memulihkan demokrasi negeri yang terkoyak."

Pasalnya kata dia, Indonesia nampak kehilangan kemudi akibat kecurangan dalam perebutan kuasa, keserakahan atas nama pembangunan dan tanpa naskah akademik. Juga tidak berbasis data. Dipandang melakukan pembangunan dengan kendali nafsu keserakahan.

mengapa, sambungnya, berdasarkan roh kebebasan akademik yang dipunya, sivitas akademika UI mengajak masyarakat dan para alumni UI untuk merapatkan barisan.

Juga anak presiden Gus Dur. "Seperti saya, semua sama dan setara di mata hukum dan negara. Tidak boleh ada yang diistimewakan.

Tidak boleh ada alat-alat negara, tidak boleh ada aset-aser negara yang dipakai untuk kepentingan satu keluarga saja. Demokrasi untuk semua, bukan untuk satu keluarga saja. Karena itu, kita lawan bahwa upaya untuk mengangkangi demokrasi harus kita lawan. Kita bergerak bersama-sama," kata Yenny Wahid, putri presiden ke 4 Abdurrahman Wahid.

 

***

 

Minggu lalu, di depan gedung rektorat Universitas Hasanuddin, Sulawesi Selatan, sejumlah Guru Besar hadir dan membacakan deklarasi berjudul 'Unhas Bergerak untuk Demokrasi'.

Guru Besar Unhas, Prof Triyatni Martosenjoyo, menyebut setidaknya ada tiga poin yang ingin disampaikan.

Mulai dari mengingatkan Presiden Jokowi dan semua pejabat negara, aparat hukum dan aktor politik yang berada di pemerintahan agar tetap berada pada koridor demokrasi.

Serta harapan untuk mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial, rasa nyaman dalam demokrasi.

Sama dengan Guru besar UGM, Presiden Jokowi sebagai alumni mestinya berpegang pada jati diri UGM yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.

Bukan malah menunjukkan bentuk penyimpangan pada prinsip dan moral demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial.

 

***

 

Pada Kamis (01/02), sivitas akademika Universitas Islam Indonesia menyatakan sikap berjudul 'Indonesia Darurat Kenegarawanan'.

Rektor UII Joga, Prof Fathul Wahid, yang membacakan sendiri pernyataan sikap sivitas. Mereka mendesak Presiden Jokowi untuk kembali menjadi teladan dalam etika dan praktik kenegarawanan dengan tidak memanfaatkan institusi kepresidenan untuk memenuhi kepentingan politik keluarganya.

Baca Juga: Sandra Dewi, Perjanjian Pisah Harta, Sebuah Strategi

Seorang presiden, katanya, harus bersikap netral, adil, dan menjadi pemimpin bagi semua kelompok dan golongan.

 

***

 

Juga si Universitas Andalas (Unand) Sumatra Barat, sivitas akademika mengeluarkan manifesto untuk penyelamatan bangsa.

Penggagas aliansi, Hary Effendi Iskandar, berkata tujuan dari manifesto ini sebagai bentuk keprihatinan terhadap kondisi bangsa yang disebutnya "sedang tidak baik-baik saja".

Hal itu terlihat dari adanya praktik politik dinasti dan pelemahan institusi demokrasi yakni Mahkamah Konstitusi.

Karenanya sivitas akademika Unand, menyatakan menolak segala bentuk praktik politik dinasti dan segala bentuk praktik kecurangan pemilu.

Beberapa hari kemudian di depan gedung rektorat Universitas Hasanuddin, Sulawesi Selatan, sejumlah Guru Besar membacakan deklarasi berjudul 'Unhas Bergerak untuk Demokrasi'.

Guru Besar Unhas, Prof Triyatni Martosenjoyo, menyebut setidaknya ada tiga poin yang ingin disampaikan. Intinya merasakan ada keresahan.

 

 

***

 

Baca Juga: Budi Said, Dituding Mafia Tanah, Apa Iya??

Menyimak pernyataan yang disampaikan para akademisi itu menurut akal sehat saya, itu merupakan "peringatan keras" kepada Presiden Jokowi. Kesan saya, keresahan akademisi ini bisa juga keresahan sebagian publik yang meluas.

Apakah seruan moral dari para intelektual saat ini masih dihormati seperti saat kejatuhan presiden Soeharto, tahun 1998 lalu?, kita lihat paling tidak sampai hari pemungutan suara 14 Februari mendatang. Atau sampai pelantikan presiden bulan Oktober 2024.

Bagi akal sehat saya, di masyarakat Indonesia posisi mereka masih diperhitungkan, karena mereka bebas kepentingan politik. Suaranya dianggap memiliki 'kekuatan'.

Peran mereka sangat penting sebagai pressure group atau kelompok penekan. Ini karena dalam pemerintahan suatu negara terdapat 4 stratifikasi, yaitu: Ruling Elite, Interest Group, Pressure Group, dan Massa.

Akal sehat saya saat ini, dengan pernyataan keresahan para intelektual, ada gejala di Indonesaa mengelami sense of crisis. Hanya belum sekrisis tahun 1998.

Dari jejak digital, saya mencermati bayangan buruk yang diciptakan oleh sejumlah elite politik lingkaran Jokowi

Pertanyaannya, apa seruan moral dari sivitas akademika saat ini bisa menggerakkan seluruh lapisan masyarakat untuk memengaruhi keputusan politik pemerintah yang dianggap kebablasan?. Wait and see.

Rekam jejak digital yang saya baca,, selama ini, kritikan maupun masukan yang diutarakan oleh masyarakat sipil seolah diabaikan oleh pemerintah Jokowi.

Masuk akal, situasi kenegaraan saat ini mendorong kampus untuk turun tangan langsung memberikan seruan moral.

Akal sehat saya was-was, keresahan dari berbagai kampus saat ini melukiskan pemerintahan Jokowi, menjelang berakhirnya jabatan menunjukan tren sedang tidak baik -baik saja.

Akal sehat saya membaca banyaknya seruan moral dari akademisi ini menandakan ada persoalan legitimasi etis yang berat di pemerintahan Jokowi. Saya khawatir, keresahan para intelektual saat ini akan menggelinding lebih meluaa di ruang –ruang publik . Bukan tidak mungkin, ini bisa menggerus kepercayaan publik pada Presiden Jokowi dan keluarganya, Gibran, Kaesang dan Bobby Nasution, menantunya.

Catatan jurnalistik saya, dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres, ternyata terus bergulir di ruang publik. Ini pasti ada apa-apanya. Tak bisa diremehkan urusan Gibran, bisa lolos cawapres melalui Mahkamah Konstitusi. Ada dugaan konflik kepentingan. Narasi yang saya catat

mengarah ke Presiden Jokowi. Mari kita kawal terus episode pilpres sampai pelantikan presiden Oktober 2024 nanti. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU