Ahli Epidemiologi Heran, sudah 157 Korban Gagal Ginjal Akut, Belum Ditetapkan KLB

author surabayapagi.com

- Pewarta

Jumat, 28 Okt 2022 19:55 WIB

Ahli Epidemiologi Heran, sudah 157 Korban Gagal Ginjal Akut, Belum Ditetapkan KLB

SURABAYAPAGI.COM, Jakarta - Wakil Presiden Ma'ruf Amin merespons usulan Kejadian Luar Biasa (KLB) terkait 269 anak terkena gagal ginjal akut misterius. Pasalnya, sampai Jumat (28/10/2022) kemarin sudah 157 meninggal dunia. Pemerintah masih mengkaji usulan tersebut KLB.

Kepastian penetapan KLB belum bisa diputuskan lantaran tengah dipertimbangkan oleh para ahli. Meski begitu, penanganan pasien gagal ginjal akut misterius dipastikan seluruhnya ditanggung pemerintah.

Baca Juga: Dokter: Kenali Gejala Gagal Ginjal Akut Misterius Anak Lewat Urine

"Kita kan ada aturannya ya, ada kriterianya ya, saya kira usulan itu akan direspon oleh pemerintah sekarang sedang dikaji. Apakah bisa memenuhi syarat standar bahwa ini darurat KLB atau baru ini semacam kejadian biasa. Nanti tunggu saja. (Penetapan status) akan mendengar setiap usulan dan akan mempertimbangkan," katanya dalam keterangan video di YouTube Wakil Presiden Republik Indonesia, Jumat (28/10/2022).

 

KLB dan Sumber Dana

Pencegahan kasus gagal ginjal akut misterius dipastikan Ma'ruf Amin terus dilakukan. Tidak hanya itu, industri farmasi yang teridentifikasi dengan sengaja menyalahgunakan bahan baku obat akan segera diproses.

"Juga sedang dikaji apa ada unsur pidananya apa tidak dan kalau ada, tentu akan ditetapkan," kata Ma'ruf.

"Presiden mengatakan mereka supaya diberikan pelayanan dan penanganan pengobatan secara gratis kemudian obat-obat yang menyebabkan terjadinya gagal ginjal itu juga dilarang," tutur dia.

Status KLB disebut memiliki peranan penting dalam sumber dana untuk penanganan kasus gagal ginjal akut misterius. Terlebih, angka kematian dilaporkan terus bertambah.

Baca Juga: BPOM yang Umumkan 2 Perusahaan Farmasi Jadi Tersangka, Bukan Polri

 

Ahli Epidemiologi Heran

"Sudah banyak kriteria yang terpenuhi (untuk menetapkan KLB), dan saya cukup heran kenapa tidak ditetapkan sebagai KLB, karena ketika ditetapkan sebagai KLB maka ketetapan ini akan lebih memudahkan untuk koordinasi dan optimasi SDM kesehatan, dan penanggulangan KLB," terang ahli epidemiologi Dicky Budiman dari Universitas Griffith Australia beberapa waktu lalu.

Sementara Peneliti di Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Luky Sandra Amalia menyoroti imbauan Puan Maharani soal KLB ke pemerintah. Menurutnya, pemerintah benar harus mendengar imbauan Ketua DPR RI tersebut.

"Desakan ini penting untuk dijawab dengan langkah konkrit. Setelah DPR di bawah kepemimpinan Puan Maharani berhasil mengesahkan UU TPKS, sekarang saatnya membangun sinergi dengan lembaga-lembaga pemerintah," kata Amalian

Baca Juga: Kepala BPOM Digugat, Masih Ngotot Sudah Awasi Obat Sirup

Puan menanggapi kasus pemerkosaan yang terjadi di salah satu kementerian dengan meminta pelaku diberi sanksi berat sesuai aturan yang berlaku. Mengingat, saat ini sudah ada Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Amalia menilai UU TPKS dapat menjadi payung sebagai langkah konkrit yang diperlukan seperti pembentukan satgas, perlindungan korban, dan penindakan pelaku. Karenanya, ia setuju dengan Puan yang meminta adanya satgas di setiap instansi.

"Saya setuju dengan Puan, pembentukan satgas di setiap instansi negara bisa menjadi langkah konkrit awal untuk mencegah dan menindak kasus kekerasan seksual yang mungkin terjadi," ucap Amalia.

"Melalui satgas di lingkungan instansi, sebagaimana dicita-citakan Puan, korban tahu harus ke mana dan kepada siapa meminta perlindungan ketika dirinya mengalami kekerasan seksual, tanpa mengkhawatirkan tersebarnya identitas pribadinya," imbuh Amalia. n jk/erc/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU