Home / Politik : Catatan Politik Wartawan Surabaya Pagi

Indonesia akan Diubah Jadi Negara Keluarga, Bolehkah?

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 31 Okt 2023 06:32 WIB

Indonesia akan Diubah Jadi Negara Keluarga, Bolehkah?

i

Catatan Politik Raditya M. Khadaffi, Wartawan Surabaya Pagi

Akal sehat saya tak tertarik ikut berdebat soal politik dinasti dan plesetan Mahkamah Keluarga.

Saya justru tergelitik soal kemungkinan Indonesia diubah dari negara kepulauan menjadi negara keluarga?

Baca Juga: Budi Said, Dituding Mafia Tanah, Apa Iya??

Maklum julukan Indonesia di mata dunia sangat beragam.  Selain dikenal sebagai negara agraris, Indonesia juga dikenal sebagai salah satu negara maritim.

Saya juga tergelitik pernyataan Presiden Jokowi yang pernah melemparkan gagasan “One Family”.

Gagasan ayah Gibran, Kaesang dan mertua Bobby Nasution, ini disampaikan saat ia mengikuti sesi kedua Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 India di Bharat Mandapam, IECC, Pragati Maidan, New Delhi, India, pada Sabtu (09/09/2023).

Presiden Jokowi  berharap agar dunia menjadi satu keluarga besar yang saling membangun dan memiliki tujuan bersama untuk menciptakan kehidupan yang damai.

“Saya setuju, jika dunia ini layaknya satu keluarga besar, namun, keluarga yang Indonesia harapkan adalah keluarga yang saling membangun, saling peduli, dan memiliki satu tujuan bersama yaitu menciptakan kehidupan yang damai dan makmur,” harapnya.

Apakah harapannya ini ada kaitannya dengan polemik politik dinasti yang kini ramai dibahas publik jelang pendaftaran pilpres 2024.?

Riil, secara politis, Jokowi, kini telah menempatkan Bobby Nasution, menjadi Wali Kota Medan. Juga menaruh Gibran, anak sulungnya sebagai Wali kota Solo. Lalu menempatkan Kaesang, anak bungsunya memimpin partai anak muda, PSI.

Dan kini, Gibran maju sebagai cawapres parpol koalisi  gemuk yaitu digandeng Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra.

Akal sehat saya berpikir gagasan Jokowi ini bukan soal salah atau benar? Juga bukan etis atau tidak? Tapi kemanfaatannya bagi 270 juta rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam kini dan ke depan . Disana ada ambisi berkuasa? Juga janji memberi kemanfaatan. Tapi itu janji. Bisa jadi asas kemanfaatan untuk rakyat banyak, baru tahap iming iming atau PHP (Pemberi Harapan Palsu). Walahualam

 

***

 

Dalam Islam, negara dan agama, bak saudara kembar. Tak bisa dibedakan, tak mungkin dipisahkan. Agama –Syariat Islam– bentuknya nampak dalam wujud negara, negara wadah penerapan syariat Islam. Ini representasi Islam adalah negara.

Orang tua saya mengajarkan antara negara dan keluarga punya ikatan sinergi yang kuat dan strategis. Pesannya, suksesnya kepemimpinan kepala keluarga dalam mewujudkan keluarga sholih – mushlih (baik dan memberi kebaikan pada masyarakat dan negara) wajib ditopang oleh kepemimpinan di tingkat negara.

Juga diajarkan Islam mengajarkan negara menebar nila-nilai kebaikan. Antara lain melalui sistem media massa yang bermanfaat, yaitu menguatkan keyakinan masyarakat dan mencerdaskan. Termasuk mencegah munculnya informasi negatif kontra produktif dengan akidah dan akhlak manusia.

Menurut Salvicion dan Celis (1998) di dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan. Mengingat dalam satu rumah tangga, mereka berinteraksi satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing. Terutama  menciptakan da mempertahankan suatu kebudayaan

kesejahteraan anak. Ini dalam keluarga.

Pertanyaannya, kesejahteraan anak dengan membangun negara keluarga, bolehkah?.

Ini yang kini sedang jadi polemik di ruang publik, politik dinasti, politik kekuasaan atau bangkitkan nepotisme?

 

***

 

Menyimak perjalanan kepemimpinan Presiden Jokowi, saya teringat slogan "Piye Kabare? Penak Jamanku, Toh?" ("Gimana kabarnya? Masih enak zamanku, kan?".).

Slogan  yang disertai foto Soeharto ini saya temukan di angkot-angkot. Mantan presiden  Soeharto itu tersenyum khas dibalut jaket hitam. Tidak ada stiker dari presiden Jokowi, didekatnya.

Boediono, lewat Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah (2016) juga menceritakan  kekacauan Indonesia pernah terjadi karena hiperinflasi 600%, penumpukan utang luar negeri yang berujung pada kegagalan pembayaran. Sekaligus defisit anggaran. Ini yang membuat berhentinya kegiatan ekspor-impor.

Sejarah  mencatat bahwa seluruh permasalahan era Soekarno ini teratasi di tangan Soeharto yang percaya sektor ekonomi adalah segalanya.

Di awal-awal kekuasaannya, dia membentuk tim ekonomi yang berisi ekonom UI lulusan Amerika Serikat. Tim itu dikenal sebagai Mafia Berkeley yang beranggotakan Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Mohammad Sadli, Subroto, dan Emil Salim.

Sejarawan M.C Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2008) menyebut Mafia Berkeley berupaya memberi masukan dan membuat resep ekonomi bagi pemerintahan Soeharto. Hasilnya adalah kebijakan ekonomi pintu terbuka.

Presiden RI Ke-2 ini dengan cepat membuka pintu masuk bagi investor asing guna memantik pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Juga Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam Ekonomi Indonesia 1800-2010 (2016) menulis, kebijakan moneter dan fiskal yang diusulkan para teknokrat itu telah berhasil menurunkan inflasi, memperbaiki hubungan dengan lembaga donor, dan penambahan kas anggaran.

Cara ini pada akhirnya efektif merehabilitasi dan menstabilkan ekonomi negara yang saat itu penuh kekacauan.

Baca Juga: Jual-beli Opini WTP, BPK Minta Rp 40 M

Tak heran, setelahnya puja-puji pun mengalir dari dalam dan luar negeri kepada Soeharto. Ini semua dibarengi dengan semakin derasnya dana asing masuk ke Indonesia. Praktis, karena uangnya banyak, maka negara dapat menjalankan pembangunan.

Beda dengan presiden Joko Widodo yang malah mengungkapkan, selama dirinya menjabat 8 tahun sebagai kepala negara, pemerintah telah menghabiskan anggaran sebesar Rp 3.309 triliun untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia.

Perubahan yang terjadi di Indonesia selama dirinya 8 tahun saat menjadi kepala negara andalan utamanya pembangunan infrastruktur.

Pembangunan infrastruktur di Indonesia saat ini, kata Jokowi bahkan telah berubah pergeserannya, dari yang dahulu selalu dilakukan pembangunan infrastruktur di Jawa, kini mulai merata di seluruh pelosok negeri. Dan ini duit hasil utang.

 

***

 

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa ekonomi Indonesia tercatat tumbuh 5,31% pada 2022.  Pertumbuhan kali ini didorong oleh kinerja ekspor yang luar biasa sepanjang 2022.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono mengungkapkan bahwa pertumbuhan 5,31% merupakan pertumbuhan tertinggi sejak 2013.

"5,31% ini tertinggi sejak tahun 2013, dibandingkan secara nominal tahun 2022, ini lebih tinggi dari 2019," papar Margo dalam konferensi pers, Senin (6/2/2023).

Nah, masa jabatan Presiden Jokowi akan berakhir pada 2024 mendatang. Kurang satu tahun, tapi Presiden Joko Widodo berani berjanji akan membuat ekonomi Indonesia meroket hingga 7%.

Sementara, Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I 2023 tercatat masih 5,03% (yoy), sedikit meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar 5,01% (yoy).

Secara makro, faktor yang memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi gabungan Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber Daya Alam (SDA), Kemajuan IPTEK, Tingkat Inflasi dan Suku Bunga, Tenaga Manajerial dan Organisasi Produksi, Aspek Sosial Budaya. Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product), Produk Nasional Bruto (Gross National Product).

Sejak 2014 Joko Widodo memimpin bangsa Indonesia, menurut catatan jurnalistik saya. tekadnya sama dengan presiden sebelumnya yaitu menyerukan pertempuran melawan korupsi.

Jokowi malah lebih herois membuat program 'revolusi mental'. Ini mencakup perhentian untuk keserakahan dan korupsi di masyarakat. Saat ini, Presiden Widodo dapat menikmati citra sebagai orang bersih dari korupsi. Tapi skandal korupsi beberapa pembantunya tak bisa di-rem. Pertanyaannya mungkinkah gagasan Jokowi "one family" dapat diwujudkan?

 

***

Baca Juga: Resiko Pejabat Bea Cukai Berkongsi

 

Catatan jurnalistik saya menyebut dalam membuat kebijakan ekonomi, Soeharto mengandalkan saran dan dukungan dari sekelompok kecil orang kepercayaan di sekitarnya. Kelompok ini terdiri dari tiga kategori: (1) para teknokrat yang dilatih di Amerika Serikat (USA-trained technocrats), (2) para nasionalis ekonomi (yang mendukung gagasan peranan besar pemerintah dalam perekonomian) dan (3) para kroni kapitalis (yang terdiri dari anggota keluarga dan beberapa konglomerat etnis Cina kaya).

Kadang-kadang, semua kategori tersebut dituduh korup. Namun sebagian besar penekanan mengarah ke lingkaran kecil kroni kapitalis (terutama anak-anak Suharto) yang merupakan penerima manfaat utama dari skema privatisasi negara. Konon,  mereka tidak disukai oleh pengusaha nasional dan masyarakat. Kabarnya,  kroni kapitalis termasuk anak-anak Suharto dituding sering menjalankan monopoli bisnis besar yang beroperasi dengan sedikit pengawasan atau pemantauan.

Catatan jurnalistik saya menyebut salah satu karakteristik penting korupsi selama Orde Baru Soeharto adalah korupsi yang agak terpusat dan dapat diprediksi. Investor dan pengusaha bisa memprediksi jumlah uang yang harus mereka sisihkan untuk biaya-biaya 'tambahan' . Konon karena mereka mengetahui mana orang-orang yang akan perlu disuap dan tidak. Atau ada taktik lain, yaitu memasukkan kroni Soeharto dalam kegiatan bisnis untuk mengurangi ketidakpastian yang disebabkan oleh birokrasi yang amat ruwet. Ini catatan politik saya berdasarkan literasi, data dan kisah empirik.

Tergambar politisasi jabatan menteri menjadi salah satu faktor kuat penyalahgunaan kewenangan yang berujung korupsi.

Nyatanya, ada rekomendasi Tim Percepatan Reformasi Hukum bentukan Kemenko Polhukam. Tim ini menyebut ada hubungan partai politik dan kasus korupsi di kalangan pejabat publik.

Kalau Bahasa Orde Barunya, 'KKN' yakni Korupsi , Kolusi , dan Nepotisme.

Saya amati, acapkali aksi demo yang protes anti-pemerintah, sering berteriak KKN. Ini model korupsi dalam domain politik, hukum dan korporasi di Indonesia.

Perdebatan KKN era Jokowi menukik kepada kepemilikan negara Indonesia masihkah milik seluruh rakyat?. Dan penegasan, negara kesatuan Republik Indonesia bukan milik satu atau dua keluarga.

Negara adalah milik seluruh rakyat Indonesia, bukan milik satu dua keluarga.

Saya sebagai generasi milineal diajari para pendiri republik yang adalah orang-orang yang terdidik bahwa mendirikan republik bukan untuk satu keluarga, tetapi untuk seluruh anak Indonesia. Founding father tak pernah mimpi "One Family" di NKRI, negara kesatuan Republik Indonesia. Adanya gagasan "One Family" jangan diplesetkan NKRI negara keluarga republik Indonesia. NKRI harga mati! Ini pekik heroisme menjaga NKRI terutama dari rongrongan dari dalam  negeri. Pekik ini mengingatkan pesan Soekarno, yang pernah mengatakan, "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri".

Hal yang dimaksud oleh  Soekarno lewat ucapan itu yakni ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia setelah merdeka.

Artinya setelah penjajah pergi, bangsa Indonesia akan dihadapkan pada berbagai masalah. Utamanya soal persatuan.

Ada berbagai cobaan dan masalah mulai dari masalah sosial, ekonomi, dan berbagai masalah lainnya. Ini menguji persatuan bangsa.

Perbedaan-perbedaan yang ada bisa membuat rakyat terpecah belah dan saling berperang.

Ucapan Soekarno ini terbukti. Sejak awal kemerdekaan, selalu ada konflik. Mulai dari konflik soal penetapan dasar negara, perebutan kekuasaan, hingga penyelewengan terkait hubungan partai politik dan kasus korupsi di kalangan pejabat publik. Bahasa Orde Barunya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Masya Allah! ([email protected])

Editor : Raditya Mohammer Khadaffi

BERITA TERBARU